Mungkin sering kita beranggapan bahwa ujaran kebencian dan segala turunannya di media sosial itu muncul begitu saja. Nyatanya, kebencian yang menyeruak di dunia maya itu sejatinya tidak muncul dari ruang kosong. Ada sebagian pihak yang ketika melakukan ujaran kebencian berangkat dari satu kesadaran teologis yang melegitimasi tindakannya. Akibat dari legitimasi teologis ini, ketika ia mencaci, memaki, menghasut, memfitnah, memprovokasi, menyebar hoax, bahkan mengafir-sesatkan liyan, tidak ada perasaan berdosa dan bersalah dalam hatinya.
Inilah yang disebut dengan teologi kebencian. Suatu kebencian beserta segala turunannya dilakukan atas dasar kesadaran keagamaan. Pendek kata, agama/restu Tuhan dijadikan sebagai basis alam bawah sadar untuk melakukan tindakan negatif-destruktif kepada pihak/kelompok yang dianggap sebagai musuh.
Fenomena ini nampak di media sosial. Ada orang dengan mudahnya mengumbar kata-kata kotor; dengan entengnya membuat cuitan yang melukai pihak lain; dengan tidak merasa bersalah, memaki dan mengafir-sesatkan agama/kepercayaan umat lain. Semua itu dilakukan atas dasar soalah-olah sudah mendapat restu dari Tuhan.
Orang yang meyakini bahwa ia mendapat ridho dari Tuhan ketika dia menyebar berita hoax atau melakukan ujaran kebencian misalnya, ia abai terhadap hadis Nabi yang menyatakan: “Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya (HR. Muslim).”
Orang yang merasa bahwa ia mendapat restu dari Tuhan ketika ia mencaci atau menghina agama lain, ia tidak akan ingat lagi dengan firman Allah Swt : “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan (QS Al-An’am: 108).”
Orang yang mempercayai bahwa ia memperoleh legitimasi dari Tuhan ketika ia mengafir-sesatkan pihak lain, ia tidak akan sadar dengan hadis Nabi: “Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiq, dan menuduhnya dengan kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh, jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan (HARI Bukhari).”
Sebab bagi mereka, ketika mereka menyebar hoax, menghina agama lain, atau menuduh orang lain kafir, ada keyakinan dalam hatinya bahwa itu adalah perintah Tuhan.
Teologi kebencian secara redaksional memang berkontradiksi. Satu adalah kata sakral-transendental sebagai hubungan intens dengan Tuhan yang menghasilkan ketenangan dan kedamaian. Yang satu lagi adalah kata yang mengarah pada tindakan kotor-destruktif yang merusak ketenangan dan kedamaian. Meski berkonstradiksi, justru itu yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Mereka berada dalam kontradiksi; mencampurkan yang suci dengan yang kotor; haram dianggap halal; yang salah dijadikan suatu kebenaran.
Atas nama agama, dengan keyakinan dan kesadaran bahwa tindakannya dalam mencaci dan memfitnah solah-olah mendapat restu dari Tuhan atau memang itulah yang diperintahkan oleh Tuhan. Ia dengan tak merasa berdosa dan bersalah melakukan itu. Malah dengan arogannya menganggap bahwa ia telah mendapat legitimasi dari Tuhan.
Penetrasi Media Sosial
Penetrasi media sosial mengakibatkan siapapun bisa bersuara dan menyatakan apa yang ada dalam benaknya. Media sosial menyebabkan terjadinya fragmentasi otoritas. Jika pra-media sosial, otoritas itu berada pada pihak tertentu, –kalau dalam agama berada pada ulama, –di tangan media sosial, semua orang setara dan sama-sama punya akses yang sama untuk melakukan tindakan yang absah menurutnya.
Ruang kebebasan yang diberikan media sosial menjadi lahan subur bersemainya ujaran kebencian dan segala turunannya. Di satu sisi ada ruang kebebasan yang bisa menampung apapun yang ada dalam benak manusia, yakni media sosial. Di sisi lain, ada kebencian yang dilegitimasi oleh suatu keyakinan tertentu, yakni teologi kebencian.
Keduanya bertemu, maka terjadilah semburan kebencian. Media sosial dan teologi kebencian sangat klop dan cocok. Media sosial sebagai wadah, teologi kebencian bagaikan air yang siap dituangkan ke dalam wadah. Inilah sebabnya, media sosial kita dibanjiri dengan berbagai macam bentuk ujaran kebencian: caci-maki, provokasi, intoleransi, bahkan tindakan radikal dan teror. Siar kebencian selalu ada di media sosial.
Satu hal yang harus diingat, bahwa tidak ada suatu hal yang paling susah diberantas selain dari suatu tindakan atau sikap yang didasarkan pada satu prinsip keyakinan. Bukankah yang paling kokoh di dunia ni adalah keyakinan dan kepercayaan?
Persis ini yang terjadi pada teologi kebencian, ia berdiri pada satu prinsip, bahwa apa yang saya lakukan ini adalah kehendak agama; bahwa apa yang saya laksanakan ini merupakan perwujudan dari kemauan Tuhan.
Tesis yang menyatakan bahwa agama akan menyingkir ke ruang privat sudah tidak terbukti. Waktu sudah menjawab itu. Agama justru menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan dalam ruang publik. Deprivatisasi agama, demikian disebut. Agama memainkan penting –bahkan menjadi yang terpenting keberadaannya dalam ruang publik virtual.
Menebar Rahmah
Agar perdebatan, dialog, dan lalu lintas komunikasi di ruang publik virtual menjadi sehat, diperlukan satu bentuk teologi yang bisa mengakomodir perbedaan. Semua ini bisa mewujud ketika individu-individu yang ada dalam ruang publik virtual sadar akan pentingnya perdamaian dan cinta kasih. Artinya, teologi kebencian perlu digeser kepada teologi cinta. Teologi cinta berangkat dari satu kesadaran bahwa inti ajaran Islam itu adalah rahmah. “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya: 107).
Rahmah adalah satu hal yang paling inti dalam Islam. Ia adalah kata koentji untuk memahami dan mempraktikkan Islam. Ragib al-Asfahani mendefinisikan rahmah itu sebagai kelembutan yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi (riqqah taqtadhi al-ihsan ila al-marhum).
Artinya dalam konsepsi teologi rahmah, ada dua hal syarat yang harus dilakukan: pertama, kelembutan (riqqah); kedua, kebaikan nyata (al-ihsan). Kedua syarat ini menunjukkan, bahwa ber-Islam sama dengan membumikan cinta secara aktual. Dengan rahmah, kita bisa membaur dengan siapapun; dengan kelembutan, kita diterima oleh semua orang, dan dengan kebaikan nyata, kita masuk ke dalam setiap lini kehidupan manusia. Rahmah adalah bahasa universal; yang selalu diterima dan diimpikan oleh setiap insan.
Teologi cinta adalah teologi yang mempercayai Allah sebagai Ilah, Rab, dan Malik lengkap dengan segala asma dan sifatnya berdasarkan cinta kasih, bukan kebencian, kemarahan, kekuasaan, dan pemaksaan. Ketuhanan Yang Maha Rahman dan Rahim menunjukkan, bahwa tuhan yang dipercayai umat Islam bukanlah Tuhan jahat, tetapi Tuhan yang mengasihi dan memberikan anugerah kepada semua makhluk-Nya.
Konsepsi teologi cinta ini bisa dijadikan sebagai basis untuk melawan dan menolak teologi kebencian. Dalam ilmu mantik (logika) ada metode musakalah, yakni kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan, sebab akan patah. Api tidak bisa dibalas dengan api. Kebencian tidak bisa dibalas dengan kebencian. Kekerasan hanya bisa dijinakkan dengan kelembutan. Kebencian dihilangkan dengan cintah-damai.
Dalam konteks inilah, semua pihak perlu membumikan dan mengampanyekan teologi cinta ini, terutama di media sosial. Kita harus menyuarakan, bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Tuhan Maha Rahman dan Rahim. Nabi diutus tidak lain kecuali sebagai rahmat. Ajaran Islam yang termaktub dalam kitab suci penuh dengan rahmat. Dengan kata lain, setiap orang harus sadar bahwa dalam ruang publik virtual bukan hanya diri dan kelompoknya, tetapi ada orang dan kelompok lain. Ia sadar bahwa pihak lain itu juga sama dengan dirinya: tidak mau dimaki dan disesat-kafirkan.
Perasaan seperti ini akan menjadi tameng bagi bersamainya kebencian. Api tidak bisa dibalas dengan api. Kebencian tidak bisa diberantas dengan kebencian. Satunya-satunya tindakan rasional dan fungsional adalah api dipadamkan dengan air. Kebencian dihapus dengan kedamaian. Kita perlu hijrah dari teologi kebencian menuju teologi cinta.