Ilustrasi: teknologi, media sosial dan rumah ibadah (madina.web.id/Abdul Hanif Siregar).
Silakan Bagikan ke Teman-teman

Di era digital yang semakin tak lagi bersekat, media sosial – baik Youtube, Instagram, Facebook, maupun Twitter – dan teknologi kecerdasan buatan telah mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia. Namun, sementara kita menikmati manfaatnya, kita juga harus merenungkan dampaknya pada pemahaman moderasi beragama di masyarakat kita.

Media sosial telah memberikan panggung global bagi suara-suara individu dari berbagai agama. Hal ini sebenarnya sebuah kesempatan besar bagi kita untuk saling berbagi pandangan, pengalaman, dan pesan keimanan. Namun, dampaknya juga bisa beragam: dari peningkatan pemahaman antaragama hingga meningkatnya polarisasi. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita dapat memanfaatkan teknologi ini secara bijak guna mendorong moderasi agama?

Salah satu cara yang dapat kita pertimbangkan adalah melalui penyebaran informasi yang seimbang. Media sosial sering kali kita lihat dipergunakan untuk menyebarkan pandangan ekstrem – baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri – dan berita palsu yang menghasut. Namun, kita juga dapat menggunakannya untuk mempromosikan dialog antaragama yang sehat dan memberikan pemahaman agama yang inklusif.

Misalnya, platform media sosial dapat menjadi panggung dakwah bagi pemuka agama dan ruang publik bagi warganet untuk berbicara dan berdialog tentang pesan perdamaian dan toleransi. Mereka dapat saling berbagi cerita tentang bagaimana agama mereka mendorong nilai-nilai positif dan bagaimana kita semua dapat belajar dari satu sama lain.

Sehingga dengan demikian, akan muncul pemahaman antar umat beragama yang lebih baik, saling terbuka, dan tidak saling curiga. Pula, melalui dialog antaragama yang berlangsung di platform sosial media, kini banyak orang telah mulai memahami keyakinan dan nilai-nilai orang lain dengan lebih baik. Tentu hal ini adalah langkah positif untuk mengkonstruksi moderasi beragama.

Namun, sebaliknya, media sosial juga dapat digunakan untuk memancing ketegangan antaragama dan memperkuat pandangan ekstrem. Diskusi yang tidak sehat, penyebaran berita palsu, informasi-informasi yang bersifat destruktif, dan retorika fanatik seringkali mendominasi ruang maya.

Selain itu, algoritma pada media sosial juga dapat digunakan untuk menghubungkan orang dengan konten yang mendukung moderasi agama. Dengan memantau perilaku warganet, algoritma dapat menyarankan konten mana saja yang mengkampanyekan pemahaman moderasi antaragama ketimbang yang memperkeruh suasana.

Namun, upaya ini tidak akan berhasil tanpa partisipasi aktif dari pengguna media sosial. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memeriksa (men-tahqiq) kebenaran informasi sebelum menyebarkannya, untuk tidak memperkuat narasi ekstrem, dan untuk berkomunikasi secara positif dengan orang-orang dari latar belakang ras, suku, bahasa, dan agama yang berbeda.

Dengan demikian, maka penggunaan sosial media akan berdampak positif dan bernilai manfaat, kita dapat menggunakannya sebagai alat untuk mempromosikan agenda moderasi agama yang saat ini terus digaungkan oleh Kementerian Agama ke panggung dunia dan membangun pemahaman yang inklusif antarumat beragama.

Tentu hal ini adalah tantangan yang tidak mudah, tetapi juga peluang besar yang ada di depan kita. Teknologi danĀ  media sosial adalah kenyataan dalam kehidupan kita, dan kita tidak mungkin dapat menghindarinya. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, justru kita memiliki kesempatan untuk membangun dunia yang lebih toleran, harmonis, dan moderat tentunya, jika kita mampu mengambil tindakan yang tepat dan bijak dalam menggunakan media sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *