Silakan Bagikan ke Teman-teman

Beberapa bulan yang silam dunia olahraga tanah air, khususnya sepakbola tertampar hebat dengan tertangkapnya oknum yang melakukan match fixing. Polisi dalam hal ini satgas antimafia bola, menetapkan satu oknum sebagai tersangka sekaligus aktor utama dalam kasus dugaan pengaturan skor pada kompetisi liga 2 di tahun 2018 (Kompas.com, Desember 2023). Yang mengejutkan dia tidak hanya sendiri, pihak tindak pidana siber Bareskrim Polri juga menetapkan dua tersangka lainnya. Mereka adalah DRN mantan manager klub PSS Sleman dan KM seorang liaison officer sepakbola.

Publik tanah air khususnya penggila sepak bola banyak shock ketika mendengar berita yang  release ini. Sebagian lain cuek bebek saja karena mereka lebih paham kondisi sebenarnya yang terjadi, sebagian lagi tidak tahu apa-apa karena mereka fokus pada prestasi saja. Golongan ini orang-orang yang paling qanaah, tidak mau memikirkan hal-hal yang negatif terhadap perkembangan sepak bola. Sekaligus tidak mau berspekulasi banyak dengan kasus tersebut karena beranggapan sarat muatan politik dan gimmick. Banyak netizen yang kemudian membagikan info dan sekaligus mengorek informasi melalui dunia maya dalam berbagai platform.

Ironi memang, tempat yang dianggap paling sportif dan netral pun sekarang sudah tidak bisa dipercaya lagi. Lapangan sepak bola yang seharusnya tempat mengembangkan skill dan talenta telah bertansformasi menjadi lahan bisnis haram yang digerakkan oleh “invisible hand”yang selalu ingin mengeruk keuntungan dengan bermain culas. Sportifitas yang seharusnya menjadi markah kebanggan yang menjadi distingsi dengan kegiatan-kegiatan lain telah dinodai oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Miris memang.

Kalau melihat dari sejarah yang ada, Indonesia masih “junior” dalam hal match fixing. Masih kalah jauh dengan Negara Eropa seperti Itali yang telah memulai praktek unfair  ini sejak 40 puluh tahun lalu tepatnya “ Totonero scandal” dan yang terbaru kasus “Calciopoli” mencuat kembali pada tahun 2006 pada Serie A Italy. Sepak bola tidak hanya diisi oleh para atlet professional dalam hal mengolah si kulit bundar, menjaga fairness sebagai mahkota tertinggi dan memainkan kompetisi yang sehat tetapi juga disusupi oleh para mafia dan oknum-oknum white collar licik yang berorientasi kepada uang, politik dan pemerasan. Apakah match fixing hanya terjadi di dunia sepak bola saja?

Match Fixing : Terma dan Sifat

Kalau kita sederhanakan terma match fixing maka akan didapati bahwa kegiatan ini sudah sering sekali muncul dalam kehidupan sehari-hari kita, selain yang berhubungan dengan olahraga. Kata “match” mempunyai banyak arti jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: permainan, pertandingan, kontestasi, perlombaan, turnamen. Pada intinya kosakata ini adalah kata benda dan sekaligus juga bisa kata kerja. Ini artinya bahwa kata ini menghendaki adanya aktifitas yang dilakukan oleh personal atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Salah satu tujuan yang paling umum adalah memperoleh kemenangan. Sedangkan “fixing” berarti pengaturan, pemasangan, perbaikan. Dalam konteks yang sedang dibahas, maka padanan yang paling tepat adalah pengaturan. Jika dilihat dari  Cambridge Dictionary, kata fixing memiliki arti : dishonest activity to make certain that a competition, race, or election is won by a particular person.  Aktifitas ini termasuk kategori curang, licik, culas, dan tidak sportif yang bertujuan untuk menguntungkan satu pihak tertentu. Tidak hanya sepakbola saja, pemilihan ketua kelas pun bisa jadi ada unsur match fixing bahkan pemilihan ketua RT sekalipun. Secara garis besar dapat ditarik benang merah bahwa kita sangat dekat dengan praktek ini, bahkan menjadi aktor yang terlibat langsung “mengatur pertandingan” itu sendiri tanpa kita sadari.

Jadi, pada dasarnya match fixing menghendaki adanya campur tangan pihak ketiga, yang tugas utama mereka membuat lapangan permainan menjadi tidak “seimbang”. Dengan keadaan yang sumir ini permainan layaknya berada dalam sebuah remote control dimana si pemegang remot bisa kapan saja mengubah bahkan men-setting sesuai keinginan permainan. Tidak berlaku lagi bakat dan skill tetapi lebih kepada intervensi, intrik, tekanan dan pengaturan sesuai dengan skenario.

Match fixing dalam kehidupan sehari-hari

Tradisi match fixing ini kalau dikorek lebih dalam sudah sering “diaplikasikan” dalam kehidupan nyata oleh pengatur pertandingan di luar konteks olahraga sepak bola. Dalam pemilihan RT, kontestasi politik, promosi jabatan dan juga mutasi karyawan. Kalau dilihat dari pola yang ada, ada 2 hal pokok dalam yang menjadi dasar berkembangnya praktek ilegal ini yakni: pengatur dan jenis pertandingan apa yang dimainkan. Pengatur disini adalah oknum yang mengambil peran sebagai mind thinker atau dalang yang mengatur lajunya pertunjukan. Orang-orang ini selalu mempunyai bakat tependam untuk meraup keuntungan dari setiap kontestasi. Misalnya pemilihan ketua RT di kampung Tumaritis, dengan bermodalkan relasi dan paham sedikit politik maka jadilah ia sebagai calo pemilihan yang tugas utama adalah membuat pemilihan menjadi berat sebelah. Permainan dibuat menguntungkan salah satu pihak dan mencederai pihak lainnya. Bagaimana caranya jangan ditanya. Berbagai rumus dan teknik bisa dilakukan mulai dari yang paling sederhana sampai pada level sulit tingkat dewa.

Tidak hanya sampai disitu, pada saat promosi mau menjadi bos, kepala atau ketua atau apalah sebutannya (dari skala kecil sampai yang paling atas), jasa Match fixing juga ditawarkan kepada para kandidat. Tentu saja dengan berbagai persyaratan. Walaupun terkesan curang tetapi masih ada juga yang tertarik untuk mencoba peruntungan melalui jasa ini. Memang secara kasat mata, sulit untuk membuktikan secara langsung keberadaan para pelaku ini. Permainan mereka professional, rapi dan terorganisir. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu untuk melihat. Banyak cara yang mereka lakukan untuk mensetting hasil akhir suatu pertandingan. Mulai dari persyaratan administrasi yang dimainkan dengan dibuat sulit dan bertele-tele sehingga lawan kewelahan atau bahkan mengundurkan diri sebelum pertandingan dimulai. Cara lain yang dilakukan adalah dengan mengatur para panitia pemilihan dengan hanya menempatkan personil tertentu saja yang menjadi panitia. Sehingga mereka leluasa untuk membuat kebijakan yang menguntungkan satu pihak saja. Kalaupun tidak juga bisa dilakukan dengan cara ini, maka mereka akan menggunakan relasi-relasi yang punya pengaruh untuk membatalkan salah satu kandidat.

Dampak Match Fixing

Apakah match fixing merugikan? Sangat merugikan sekali baik secara personal maupun secara sosial. Setidaknya ada 3 dampak negatif kegiatan ini yakni: mencederai rasa keadilan, hilangnya sportifitas dan melahirkan mental stunting.

Yang pertama membunuh  rasa keadilan diantara para kontestan yang ikut bertanding. Permainan yang harusnya dimainkan secara sehat, dengan kondisi lapangan yang “rata” yang kemudian berubah menjadi tidak lagi rata, dan tidak proporsional. Ada satu pihak yang mendapat “golden ticket” sehingga bebas melenggang menuju kampiun setelah mendapat bantuan-bantuan dari pihak yang tidak kasat mata. Kekuatan bantuan pihak ketiga ini kadang-kadang mengalahkan doa dan usaha keras para kontestan lain. Melawan hukum alam, memang.  Karena mereka punya akses langsung untuk membuat keputusan dan memaksakan keputusan mereka kepada para kontestan dengan segala regulasi yang telah mereka “bonsaikan”.  Tentunya ini menggerus rasa keadilan karena salah satu peserta kompetisi harus bertanding diatas lapangan yang bukan semestinya, bekerja ekstra keras menaklukan rintangan yang pada akhirnya terkapar juga. Diseberang sana, kompetitor tidak banyak mengeluarkan keringat, sambil minum susu coklat hangat dengan sepotong roti, bahkan ironisnya lagi sambil tertawa cekikan melihat lawan tersungkur.

Sebagai Ilustrasi, Wak Pian dan Kari Garejoh adalah dua orang kandidat karyawan untuk sebuah perusahaan plastik. Wak Pian menggunakan kekuatan ATM sementara Kari Garejoh hanya mengandalkan usaha dan semangat dari kawan-kawan. Pada saat tes akhir Wak Pian dan Kari Garejoh ditempat di dua ruangan yang berbeda yang tentunya dengan tes yang berbeda juga. Sampai berkeringat dingin Kari Garejoh menjawab soal dan memucat wajahnya setelah mengikuti wawancara. Sementara Wak Pian hanya disuruh test untuk menyebutkan angka saja. Bukan angka biasa tapi nomor PIN dan jumlah transferan. Tes hanya berjalan sekitar lima menit saja, tidak ada keringat yang keluar, kalah dengan dinginnya suhu ruangan yang ber-AC. Hasil akhir sudah pasti sudah tahu siapa yang lolos.

Yang kedua, nihil sportifitas. Jiwa sportifitas yang semestinya mengakui keunggulan kompetitor dan menerima hasil pertandingan sepertinya tidak akan lahir dari match fixing. Sebaliknya, jiwa culas dan licik lah yang mengatur jiwa-jiwa penganut paham ini. Bagi mereka, sportifitas adalah bukan filosofi dan fondasi dalam sebuah kompetisi tetapi menang adalah tujuan akhir, dengan berbagai cara. Mereka yang lahir dari hasil give away bisanya akan mewarisi DNA licik dan curang dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka diasuh oleh regulasi-regulasi pengecut yang sudah dikebiri oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Melakukan metamorfosa; meninggalkan sifat asli demi sebuah tujuan yang tidak juga immortal.  Match fixing telah mengkebiri rasa sportifitas sehingga menjadi mati rasa.

Terakhir, match fixing melahirkan generasi yang stunting pemikiran dan jiwa. Secara fisik terlihat sehat dan tumbuh normal seperti orang kebanyakan tetapi secara piskologi mengidap kelainan mental yang tumbuh dan berkembang sangat lambat. Orang-orang yang menjadi agen bahkan pelaku match fixing tumbuh dalam keadaan yang tidak percaya diri, egois dan oportunis. Mau memenangkan pertandingan tapi tidak percaya diri dan merasa tim yang lemah, maka solusinya adalah dengan “pengaturan pertandingan”. Tidak senang kompetitor memenangkan kontestasi, regulasi diubah dan dibuat “impossible” sehingga tidak ada saingan yang maju.

Setiap  kita mempunyai potensi untuk menjadi agen bahkan pemain utama dalam match fixing. Masing-masing kita akan menghadapi situasi dan kondisi yang sangat memungkinkan untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh orang lain, tinggal hati nurani dan keimanan yang menjadi benteng terakhir. Match Fixing ini hadir ditengah kehidupan sehari-hari kita apapun profesi kita dan dimanapun kita berada.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *