Silakan Bagikan ke Teman-teman

Uang itu adalah kita”. Ungkapan ini memliki makna penting bagi kita karena uang bukan hanya sekedar medium transaksi, tetapi juga membawa dampak yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Mencari uang merupakan kebiasaan kita sehari-hari apalagi kita sebagai tulang punggung keluarga, butuh usaha, doa, keringat yang menyertainya. Konon katanya kebahagiaan dapat dibeli dengan uang, benarkah itu?

Banyak dari kita yang dikelabui dengan pernyataan tersebut. Meskipun uang dapat memberikan kita kenyamanan, keamanan, finansial, dan memberi peluang dalam mengejar hobi dan keinginan tertentu. Namun uang juga dapat menjerumuskan kita ke dalam jurang kehampaan. Kenapa demikian? Sebab uang bukanlah satu-satunya tolak ukur kebahagiaan, karena ketika tanggal tua mendekati kebahagiaan seketika lenyap, mau beli ini itu uang tak cukup, sehingga pikiran pun menumpuk. Oleh karena itu agar kebahagiaan bertahan lama di samping aspek materil kita juga cenderung melibatkan aspek non materil seperti hubungan yang baik, pengalaman bermakna, dan keseimbangan dalam kehidupan.

Uang ini juga dapat memicu amnesia loh. Ketika waktunya gajian sebagian kita seolah-olah  dibutakan oleh nafsu yakni hasrat untuk membeli macam-macam barang. Sehingga muncul istilah dari para korban tersebut mencarinya setengah mati, menghabiskannya setengah sadar. 

Kenyataan tersebut mestinya mendorong kita untuk berpikir apakah esensi dari uang tersebut dalam kehidupan kita? Mungkin kisah berikut ini dapat menginspirasi kita.

Seorang motivator sedang melakukan presentasi di depan para audiens. Ketika itu sang motivator  mengeluarkan uang nominal 100 ribu dari sakunya, dan menunjukkan lembaran uang itu kepada audiens. “berapa ini?” ucap motivator, “seratus ribu” ucap serentak audiens. Kemudian motivator tersebut menawarkan uang itu kepada audiensnya. “Kalau saya tawarkan kepada kalian, ada yang mau?” “mau” ucap mereka lagi. Kemudian motivator tersebut meremukkan uang itu dengan tangannya, dan kembali menyeru “masih adakah yang mau?” mereka menjawab “mau”. Motivator tersebut kembali bertanya “seandainya uang yang saya remas ini, saya lempar, saya injak, kotor, masih ada yang mau?” “mau” ucap mereka lagi. Kenapa? Karena nilainya tetap sama dan nilainya itu berharga.

Dari cerita tersebut dapat diambil ibrah bahwa kita diibaratkan seperti uang tersebut, seberapa banyak tantangan yang dihadapi jangan pernah menyerah, walaupun ketika kita berada dalam posisi diremehkan, direndahkan, dijatuhkan, dihina orang lain, kita tidak boleh down, jadikan itu sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada manusia yang sempurna, semua orang memiliki kelemahan masing-masing. Jika ada yang menghina diam saja jangan dibalas, bisa saja dia berguna untuk akhirat kita. Biarkanlah pahala kita mengalir darinya.

Bagaimana cara kita agar tetap bernilai seperti kisah uang tersebut? Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita perbaiki dari diri kita yaitu:

Pertama, pengetahuan, Dengan pengetahuan, sikap (moralitas) dapat terbentuk apabila kita mengetahui dan memahaminya. Untuk mendapatkan informasi yang maksimal, kita harus menggunakan panca indera kita untuk menangkap semua informasi sedemikian rupa sehingga secara alamiah masuk dengan baik. Selain itu, pembelajaran memerlukan filsafat yang mendalam, yang tentunya memerlukan epistemologi dan aksiologi. Setelah ini selesai, pengetahuan dihasilkan dengan pemahaman yang mendalam.

Kedua, keterampilan, ada tiga keterampilan yang harus diperoleh yaitu hard skill, life skill dan soft skill. Kita harus memiliki keterampilan untuk melakukan suatu pekerjaan yang menjadi bidang kita. Jika kita seorang pelajar maka keterampilan membaca, menulis dan berkarya serta menggunakan teknologi yang berkaitan dengan itu harus kita kuasai, begitu seterusnya. Life skill dibutuhkan karena berbagai tantangan hidup yang senantiasa silih berganti sehingga kita butuh kemampuan untuk bertahan dan mengadaptasikan diri dengan perubahan. Sementara soft skill berkenaan dengan kemampuan kita dalam berinteraksi dengan orang lain. Hidup bersama orang-orang yang memiliki budaya, pemahaman dan karakter yang berbeda dengan kita  menuntut kita untuk memiliki keterampilan berinteraksi yang baik dengan mereka.

Ketiga, akhlak, inilah yang menjadi kunci dari ketiganya. Hal ini diibaratkan nominal seratus, angka 1 adalah akhlak. Jadi nilai 100 tidak ada gunanya jika 1 dihilangkan. Tanpa akhlak yang baik, maka nilai ilmu dan ketrampilan jadi 0. Jika ketiga kunci di atas terpenuhi dalam diri kita masing-masing, pasti orang lain akan melihat dan menghargai kita.

Secara esensial kita seperti uang. Uang bukanlah segalanya, namun banyak hal di dunia ini membutuhkan uang. Kita bukanlah manusia paling bisa, namun kita mestinya bernilai baik bagi banyak orang. Uang juga tidak menjadikan kita lebih mulia di mata Allah SWT, namun dengan uang kita bisa menebar kebaikan dengan bersedekah dan membantu saudara yang membutuhkan. Islam mengajarkan pemeluknya harus kaya, kaya harta dan juga kaya ilmu agar kita menjadi manusia yang akhirnya mati mewariskan kemaslahatan.

Akhirnya semoga kita terbiasa introspeksi diri, pada saat kita tersesat, kurang ilmu, merosotnya akhlak, maka ketika itu kembalilah introspeksi diri. Karena hidup hanya sekali, lakukan amal terbaik di dunia hingga menuai hasil di akhirat. Dunia adalah tempat untuk lelah. Jangan menyerah, jadilah kuat.

Editor:Rohman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *