Di jagad postmodern ini, realitas kehidupan tampak semakin terdistorsi, di mana garis batas antara yang nyata dan ilusi kian kabur. Manusia lebih terpikat oleh simbol-simbol dan penanda yang sama sekali tidak mewakili realitas sejati. Kepongahan pada citra diri dan reputasi menjadi tolok ukur keberhasilan, sementara nilai-nilai autentik semakin terpinggirkan. Meminjam istilahnya Jean Baudrillard (1929-2007), manusia seperti itu pada dasarnya sudah terjebak dalam dunia “Simulacra”, realitas semu yang tak ubahnya bayangan memikat namun semua itu palsu.
Ibarat penyakit, simulakra ini dapat menjangkiti manusia modern kapan saja, menginfeksi organ-organ kehidupan dan kadangkala memberangus moral serta akal sehat kita. Gejalanya tampak dalam obsesi kita terhadap gambar-gambar yang dipoles, informasi yang direkayasa, dan kenyataan yang dikonstruksi sedemikian rupa. Kehidupan sehari-hari menjadi penuh dengan paradoks, di mana keaslian digantikan oleh replikasi dan pencitraan.
Dalam media sosial misalnya, yang menjadi salah satu pendorong utama simulakra, di mana “like” dan “follower” menjadi ukuran harga diri, dan citra diri virtual menjadi lebih penting daripada esensi diri yang sebenarnya. Dalam politik, retorika kosong dan propaganda seringkali menggantikan substansi dan kebenaran. Demikian juga dalam budaya, di mana tren dan sensasi sesaat mulai menggerus nilai-nilai dan tradisi. Lebih jauh, fenomena ini juga merembet ke dalam ranah pendidikan, tak terkecuali seperti perguruan tinggi.
Antara Panggung dan Menjaga Integritas
Lantas, bagaimana mungkin sektor pendidikan seperti perguruan tinggi juga mengidap penyakit ini? mengingat di tempat inilah ilmu pengetahuan disemai dan moral diajarkan? Institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menjaga kebenaran dan integritas, kini juga tidak luput dari jeratan simulakra ini. Tentu ini sudah menjadi rahasia terbuka, dan jika kita kaji lebih mendalam banyak variabel yang menyertainya.
Memang benar, peningkatan mutu menjadi fokus utama yang terus diupayakan oleh perguruan tinggi. Mutu menjadi tolok ukur keberhasilan perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas, dan salah satu motorik yang mendominasi dalam peningkatan mutu adalah dosen. Dosen dituntut untuk memenuhi semua kebutuhan yang ada di dalam indikator kinerjanya yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, atau dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Namun, perlu diakui juga, dalam memenuhi kebutuhan tri dharma, dosen acapkali menemui jalan ironi. Sehingga hal inilah yang memungkinkan dosen terjerumus ke dalam jurang simulakra ini.
Beberapa hari yang lalu di sebuah story Instagram, salah satu mahasiswa perguruan tinggi swasta di Jakarta mengeluh karena ada dosen yang terlihat mengajar mata kuliah yang jelas-jelas tidak ia kuasai. Alih-alih menguasai materi, mereka hanya mampu membaca teks yang ada di dalam slide Power Point, seolah mahasiswa yang sudah berjuang masuk ke perguruan tinggi ini hanya butuh seseorang untuk membacakan materi. Jika hanya membaca slide, tentu mahasiswa mampu melakukannya sendiri tanpa perlu menghabiskan waktu di kelas yang tidak memberikan nilai tambah.
Betapapun keluhan mahasiswa atas pengajaran dosen tentu subjektif, sama halnya ketika mahasiswa suka terhadap dosen yang memiliki selera humor. Kendati pun penting bagi dosen untuk terus menerima kritikan dan masukan untuk meningkatkan kualitas pengajarannya. Bukan sebaliknya, reaksi yang muncul malah sikap defensif atau menolak masukan. Lebih lagi merasa tersinggung atau menganggap bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik. Sikap anti kritik ini justru memperburuk kondisi pengajaran yang sudah buruk dan mahasiswa terus menderita akibat kurangnya pengajaran yang bermutu.
Di waktu yang bersamaan, kolonialisme juga menemukan bentuk baru dan terus melanda perguruan tinggi. Dalam praktik bimbingan tugas akhir misalnya, ada beberapa kasus dosen sering kali meminta bingkisan kepada mahasiswa setiap kali bertemu. Belum lagi perjokian tugas akhir (contract cheating) seperti investigasi Kompas (19 Juni 2022). Ironi memang, seorang dosen yang seharusnya menjadi mentor dan pembimbing intelektual justru lebih mirip badut kapitalis yang mengharapkan keuntungan materi setiap kali mahasiswa bimbingan? Apa gunanya gelar dan status akademik jika perilaku mereka lebih cocok disebut sebagai pemerasan berkedok bimbingan? Praktik semacam ini lebih mirip upeti zaman feodal daripada interaksi akademik.
Begitu juga menyangkut riset dan publikasi yang akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan. Efek kebijakan internasionalisasi perguruan tinggi yang digagas pemerintah menjadikan perguruan tinggi, meminjam istilah Ariel Heryanto (Kompas, 5 Juni 2024) yaitu “demam rangking dan scopus”. Perguruan tinggi seolah tergila-gila dengan permainan metriks yang dibuat oleh Google Scholar, Scopus, Web of Science (WoS) dan Sinta, yang dianggap seperti dewa-dewa baru dalam mengukur kualitas penelitian. Metriks kuantitatif yang konon mencerminkan reputasi dan prestasi, menjadi satu-satunya tolok ukur. Padahal secara faktual, penilaian metriks ini sering kali tidak memperhatikan kualitas dan relevansi penelitian.
Demi mendongkrak metriks, perguruan tinggi kerap kali menuntut para dosen untuk meningkatkan jumlah riset yang dipublikasikan di jurnal bereputasi, tekanan ini tak jarang memicu mereka untuk mencari jalan pintas yang terlarang, yang pada akhirnya mendorong mereka terjun ke jurang hitam riset instan. Plagiarisme merajalela, data penelitian dimanipulasi tanpa rasa malu, dan parahnya, mereka tanpa sadar masuk perangkap untuk memublikasikan artikel di jurnal abal-abal (predatory journal) yang ditawarkan oleh calo-calo jurnal. Data Pusat Studi Publikasi Ilmiah (PSPI) dan Relawan Jurnal menunjukkan bahwa Indonesia menduduki posisi kedua negara dengan publikasi terbanyak di jurnal predator dalam kurun waktu 2015-2017, dengan 16,73% dari total publikasi. Jauh di atas rata-rata global yang hanya 5%.
Dampaknya? Lahirlah budaya akademik yang paradoks. Di satu sisi, publik disuguhi gembar-gembor publikasi bombastis di jurnal-jurnal ternama. Di sisi lain, riset yang dihasilkan kering akan makna, tak membumi, dan jauh dari orientasi pengembangan ilmu pengetahuan. Riset-riset seperti itu tak ubahnya menara gading yang tinggi menjulang, namun tak memiliki pijakan kokoh di bumi kenyataan. Temuan-temuan tersebut tentu tidak bisa menjadi acuan atau landasan kebijakan, karena tak menyentuh realitas dan kebutuhan masyarakat.
Maka penting bagi dosen untuk memperhatikan hal ini agar tidak terjebak dalam permainan metriks semata. Metriks memang penting, namun hanya jika digunakan sebagai alat evaluasi yang tepat dan proporsional, bukan sebagai tujuan utama. Terjebak dalam obsesi mengejar angka publikasi, tanpa memperhatikan kualitas dan nilai ilmiahnya, hanya akan melahirkan budaya “asal terbit” yang menjerumuskan kita ke jurang kenistaan akademik. Tentu ini sejalan dengan prinsip Leiden Manifesto (2015) yang menyoroti pentingnya evaluasi penelitian yang berimbang dan manusiawi, yang tidak semata-mata berbasis pada metriks, tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek kualitatif seperti dampak sosial, keterlibatan komunitas, dan kontribusi terhadap pengetahuan ilmiah yang mendalam.
Kembali ke Esensi
Kita tidak menolak fakta, selama ini banyak dosen di Indonesia bekerja hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar perguruan tinggi agar tetap eksis (subsistence education), bukan untuk pengembangan riset atau ilmu pengetahuan (Qurtuby, 2023). Jauh sebelum itu, Pierre Bourdieu di dalam bukunya yang berjudul Homo Academicus (1984) juga mengkritik hal serupa di mana perkembangan budaya intelektual di Perancis yang cenderung didasari oleh kepentingan kapitalisme, politik dan ekonomi. Banyak yang berpendapat bahwa saat ini pendidikan tidak semata-mata pendidikan, riset pun demikian, tidak lagi di dasari oleh geliat pengembangan ilmu pengetahuan. Tetapi sudah berkelindan dengan kepentingan-kepentingan tertentu.
Maka dari itu penting bagi kita untuk kembali kepada nilai-nilai esensi, menghidupkan spirit tri dharma bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai komitmen suci yang terus-menerus dipraktikan dengan penuh ketulusan. Sebagai pijakan kiranya dosen perlu membuka karya Donald Kennedy dalam Academic Duty (1998) yang menguraikan tanggung jawab moral seorang pengajar di perguruan tinggi. Bahwa tugas dosen bukan hanya mengajar, meneliti dan mengabdi. Secara ontologis dosen juga harus senantiasa menyampaikan kebenaran serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Dengan harapan, berawal dari hal inilah kelak perguruan tinggi di Indonesia seperti yang diidam-idamkan oleh Mr. Soepomo, menjadi pusat ilmu pengetahuan global seperti di zaman keemasan Sriwijaya.