Jika menelisik agenda moderasi beragama yang digaungkan oleh pemerintah belakangan ini alasannya jelas karena banyak gerakan-gerakan kekerasan yang mengatasnamakan panggilan agama. Gerakan kekerasan ini tidak saja mencoreng kesucian ajaran agama yang ada tapi juga telah mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Dilihat dari motifnya, dalil-dalil agama secara sesat digunakan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sesaat untuk mencapai tujuannya. Motifnya bisa dari kesadaran beragama yang menyimpang dari esensinya, dan motif yang didasari untuk kepentingan politik praktis dan kekuasaan demi meraih dukungan suara (harian kompas, 2023).
Untuk kasus Indonesia, kekerasan atas nama agama memang menjadi isu yang selalu bergulir dari tahun ke tahun, motifnya juga beragam. Kekerasan pun dimulai dari yang verbal seperti menghina, merendahkan dan mengkafir-sesatkan liyan baik langsung maupun melalui media sosial, hingga nonverbal seperti merusak rumah ibadah, memukul dan bahkan melakukan pembunuhan.
Masa kampanye pemilihan presiden, kepala daerah, anggota dewan perwakilan rakyat sampai pemilihan kepala desa sedari dulu basis agama selalu menjadi modal penting untuk dimainkan. Secara terstruktur maupun natural bagi para pendukung salah satu calon, politisasi agama selalu menjadi andalan untuk mengangkat yang satu dan menjatuhkan yang lain. Sementara secara sadar calon yang dijatuhkan bahkan dihina dan disesatkan tersebut memiliki kepercayaan dan agama yang sama. Hal ini semakin memperkuat pandangan bahwa demi kepentingan politik kekuasaan segala cara boleh ditempuh, sebagaimana dalil politik yang dikenalkan oleh Niccolo Machiavelli.
Atas dasar keadaan itu, maka moderasi beragama tidak boleh berhenti digaung-syiarkan kepada masyarakat. Dan tidak saja sebatas program pemerintahan, ia harus menjadi kesadaran dan panggilan keagamaan (religious calling) seperti yang diungkapkan oleh Direktur Pendidikan Tinggi Ahmad Zainul Hamdi belakangan ini.
Kesadaran Budaya
Kesadaran bersama terhadap pentingnya persaudaraan antar sesama anak bangsa seringkali terhambat oleh karena hilangnya kearifan dan budaya yang dimiliki oleh masing-masing suku masyarakat setempat. Indonesia sejatinya bukanlah bangsa yang dihuni oleh manusia-manusia tanpa budaya. Kemendikbudristek pada 2021 telah mengumumkan ada sebanyak 1.528 Warisan Budaya Takbenda (WBTb) yang dimiliki Indonesia (Kominfo, 2021).
Namun sayangnya seringkali kearifan dan budaya itu tenggelam oleh karena hilangnya kesadaran bersama akibat perkembangan zaman dan teknologi. Seringkali munculnya kebanggaan terhadap budaya itu hanya karena ditampilkan dalam bentuk sarasehan, festival atau diseminarkan. Bukan lahir dari kesadaran, pengamalan dan jati diri yang telah mengkristal dalam jiwa.
Dalam banyak kasus ditemukan, pengalaman hidup masyarakat yang berbeda agama di beberapa daerah dapat terjalin rukun dan damai karena nilai-nilai budaya konsisten diamalkan sehingga menjadi tali yang merpererat kebersamaan. Seperti budaya dalihan na tolu bagi suku Angkola-Mandailing dan Batak (AMB) yang terdapat di Sumatera Utara.
Dalihan na tolu secara leterlek berarti tungku nan tiga (dalam memasak) yang menjadi dasar filosofis dalam sistem kekerabatan suku AMB. Kekerabatan yang bersumber dari dalihan na tolu tersebut terdiri dari kahanggi (saudara atau teman semarga), mora (keluarga pemberi istri), dan anakboru (keluarga yang mengambil istri dari mora).
Relasi antar tiga unsur tersebut memiliki sifat fundamen yaitu; pertama, antar sesama kahanggi menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong dan kekompakan; kedua, mora senantiasa mengasihi dan menyayangi anakboru; dan ketiga, anakboru senantiasa menjaga kehormatan mora.
Posisi dan peran setiap individu suku AMB dalam unsur dalihan na tolu tidak menetap, ia bisa saja menjadi mora pada satu keluarga dan bisa jadi anakboru dan atau kahanggi bagi keluarga yang lain, bergantung kepada ikatan perkawinan dan hubungan kemargaan antar sesama mereka (Askolani Nasution, 2022).
Sejak ratusan bahkan ribuan tahun dahulu hingga sekarang, sistem kekerabatan dalam dalihan na tolu dalam suku AMB mampu menjaga kerukunan antar sesama yang dilandasi oleh sifat holong (kasih-sayang) dohot domu (dan kebersamaan) yang telah diajarkan oleh leluhur mereka. Kekerabatanpun terjalin tidak saja antar sesama suku AMB namun juga terjalin dengan suku lain, jika terjadi perkawinan antar suku.
Kekerabatan dan pemberian holong dohot domu yang didasarkan pada dalihan na tolu bagi suku AMB ini mampu “melebihi” kekerabatan/persaudaraan yang terjalin oleh “kesamaan agama”.
Oleh karenanya tidak heran jika ada di beberapa wilayah Sumatera Utara seperti di Sipirok satu keluarga memiliki agama berbeda hidup rukun, atau rumah saudara nonmuslim menyediakan sajadah tempat shalat dan makanan khusus bagi keluarganya yang muslim. Di Mandailing Natal, tepatnya di kecamatan Pakantan warga Muslim dan Kristen saling membantu terhadap kebutuhan satu sama lain. Semua itu dilakukan atas nama dalihan na tolu sebagai kekerabatan yang bagi mereka telah menjadi tondi (jiwa yang hidup) dan tidak akan pernah punah.
Tentu saja banyak nilai-nilai budaya dan kearifan bangsa kita yang lain yang memiliki nilai pemersatu antar umat beragama. Hal ini bergantung pada kesadaran dan kemauan kita dalam mengamalkan dan komitmen terhadap kebersamaan dan membangun persaudaraan terhadap sesama anak bangsa dengan budaya yang kita miliki.
Hal ini bukan bermaksud menafikan nilai-nilai ajaran agama. Tentu saja norma-norma agama memiliki nilai-nilai yang mendorong kebersamaan antar masyarakat dan suku bangsa. Seperti dalam ajaran Islam bahwa selain membangun ukhwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) sebagai muslim sejati ia juga harus membangun ukhwah wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa) dan ukhwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia).
Kita berangkat dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk berbudaya. Bahwa ekspresi keagamaan sekelompok orang lambat laun akan mewujud dalam tindakan dan gerakan kebudayaan. Sehingga tidak salah pernyataan bahwa agama dalam tataran teks adalah norma namun jika agama telah diamalkan dan diekspresikan menjadi budaya.
Untuk itulah budaya-budaya dan kearifan lokal di masyarakat yang sejalan dengan norma agama seperti menjaga kebersamaan dan menghormati perbedaan harus diorbitkan dalam kerangka membangun kehidupan damai dan jauh dari motif-motif kepentingan pribadi atau golongan.
Semangat dan kesadaran ini jugalah harusnya dibangun oleh mereka yang akan berkompetisi dalam memperebutkan kursi jabatan atau kekuasaan. Narasi kebersamaan dan kesatuan di tengah perbedaan harus terus disuarakan. Perbedaan politik jangan dijadikan dasar pembenaran terhadap penindasan. Para pendukung jangan sampai buta terhadap realitas kehidupan bahwa pada dasarnya perbedaan inilah yang menghidupkan dan menjayakan Indonesia Raya.