Belum ada penelitian seperti apa manusia Mandailing. Mungkin antropolog tidak tertarik, atau tidak tahu ada manusia Mandailing. Padahal, kata sastrawan senior, Mochtar Lubis, tidak ada manusia Indonesia, yang ada adalah manusia daerah-daerah yang menyatakan diri sebagai “orang Indonesia”. Koentjoroningrat menulis tentang manusia Nias, Batak, Minang, dst., tapi tidak ada (tipikal) manusia Mandailing.
Saya pikir orang asli Mandailing tidak punya pagar rumah, karena perlindungan mereka komunual dalam lingkup desa atau huta. Yang ada adalah pagar desa dari rumpun bambu, atau tebing tinggi yang dibuat mengelilingi desa. Tradisinya seperti itu. Bagian dapur memiliki pintu keluar, karena ada pembagian wewenang antara laki-laki dan perempuan.
Tidak ada kamar untuk laki-laki, karena laki-laki tidak pantas untuk tidur di rumah, mereka harus “martandang”. Rumah berjenjang, karena bagian kolong rumah berfungsi juga untuk menyimpan kayu bakar sekaligus menjadi kandang ternak.
Tidak ada teras, yang ada pondok di depan rumah untuk tempat bersosialisasi dengan tetangga atau untuk tempat pekerjaan “mambayu” ketika pekerjaan bersawah lengang. Di luar dapur ada lesung agak besar untuk menumbuk padi atau tepung beras, ada yang lebih kecil untuk “manduda bulung gadung”, “tumbang”, “rabar”, dll.
Tungku memasak berbentuk “tataring”. Karena tataring menjadi metafora panggilan “Taing” dan dalihan menjadi simbol panggilan “Lian”. Filosofinya Dalihan bermakna “menopang” marwah kekerabatan, dan Tataring sebagai simbol didaktik “memasak” dalam arti luas. Jadi pada idiom itu melekat pembagian tugas secara seksual: perempuan yang mendidik anak, dibentengi dengan otoritas laki-laki. Jadi kalau ibu marah, ia akan mengatasnamakan suaminya. Misalnya begini, “Ulang ko losok, Lian, udokon naron di Amangmu.” Marah itu didelegasikan kepada istri. Juga untuk hal-hal pola pendidikan anak. Istri bertugas untuk mewariskan pola tingkah laku berdasarkan trah suaminya, termasuk mewariskan cerita dan dendam. Karena di Mandailing dendam juga diwariskan, panjangnya “pitu sundut”, tujuh keluarga batih. Doanya juga tujuh jenjang keluarga batih ke depan, “Pitu sundut soada mara.”
Fungsi Ayah juga kolegial. Ia bisa memarahi anak dari saudara laki-laki atau kerabatnya yang “sakahanggi” satu garis kekerabatan, atau bahkan satu marga. Pola asuh dan tanggung-jawabnya luas sekali. Itu dimaknai dari simbol “saanak saboru”, satu penderitaan atau “sasanggar sa ria-ria.”
Pola makan, mereka menyukai kebersamaan. Bahkan diciptakan momen-momen untuk bisa makan bersama antara satu garis kekerabatan. Misalnya saat ada anggota kerabat yang melahirkan, selama prosesi pernikahan terutama menjelang pesta pernikahan, saat pesta panen, atau hal-hal yang sengaja dibuat untuk menjadi media bisa makan bersama. Misalnya, saat “mambungkas tobat”, panen ikan dalam kolam bersama satu kekerbatan atau “na saparompuan”. Untuk tangkapan ikan yang paling besar, itu menjadi bagian “tulang” dan “inangboru”-nya. Cara itu dibuat agar anak laki-laki menghormati saudara laki-laki dari ibunya dan anak perempuan menyayangi saudara perempuan dari ayahnya.
Mereka makan dengan bersila dengan jumlah nasi yang banyak, sedikit sayur dan lauk. Lauk yang tidak habis dalam sekali makan, bisa dimakan lagi dalam waktu makan berikutnya. Air putih saja dianggap tidak menghormati tamu. Karena itu untuk air minum mereka menawarkan kopi atau air putih yang diseduh dengan daun kopi atau daun jambu “orsik”.
Kopi menjadi hal yang dianggap memuliakan tamu. Karena itu orang-orang ditawarkan singgah untuk minum kopi. Bahkan untuk acara makan pun disebut dengan “markopi jolo”. Dan orang merasa terhormat ketika mereka disuguhi kopi.
Di sudut belakang atau sisi rumah ada “opuk” atau gudang beras yang terbuat dari pondok kecil, berdinding “gogat”, dan beratap ijuk. Fungsinya untuk menyimpan beras mulai dari satu panen ke panen berikutnya. Meskipun semua hasil panen bisa disimpan dalam “opuk”, beberapa karung sengaja diletakkan di ruang tamu. Fungsinya, ketika tamu datang “mangulangi”, mereka tidak segan makan karena yang punya rumah masih punya stok beras. Lamanya waktu bertamu atau “mangulangi”, tidak sehari-dua hari, tetapi minimal seminggu. Selama seminggu itu, keluarga dekat yang datang akan dijamu dengan makan bersama setiap waktu, dan dibawa jalan-jalan ke sawah atau ladang.
Orang Mandailing suka ikan karena itu setiap anak laki-laki dituntut untuk terampil menangkap ikan sendiri. Baik dengan memancing (mangkail, mangkotar, mancet-cet, marapung-apung), maupun dengan tangan kosong (mandehe) di sungai yang memanjang nyaris seluruh kawasan Mandailing. Proses menangkap ikan juga dibuat momen beramai-ramai dalam bentuk “lubuk larangan”. Jadi metafora lubuk larangan lebih kepada menciptakan momen untuk kebersamaan, bukan pada nilai ekonomisnya.
Saking sukanya pada ikan, di tengah sawah juga ada kolam kecil. Fungsinya bukan aspek ekonomi, tetapi untuk sewaktu-waktu bisa diambil kalau tamu datang. Bahkan beberapa rumah juga ada kolam kecil, baik di belakang maupun di kolong rumah yang dialiri air sepanjang musim. Ikan-ikan dibiarkan besar karena peruntukannya untuk tamu.
Orang Mandailing tidak memperlihatkan kekasaran secara vulgar. Karena kekasaran tidak milik individual tapi kekerabatan. Mereka menghindari sengketa, karena penyelesaiannya juga harus melibatkan kekerabatan dalam relasi “Dalihan na Tolu”. Karena pendemdam, setiap orang dituntut agar tidak menyakiti yang lain. Metaforanya “pala marbada ulang marsigasaan”. Tidak boleh membuat bekas atau ucapan yang membekaskan pada orang lain. Karena itu orang Mandailing dilatih sejak dini untuk pandai berpura-pura. Pura-pura itu mulai keramahan yang dipertontonkan dengan ucapan, raut wajah, sampai ke mata. Sakit hati atau rasa tidak suka kepada orang lain ditunjukkan dengan cara yang halus. Misalnya, dengan meludah ketika orang yang ditegur tidak melihatnya lagi.