PANYABUNGAN, MADINA.WEB.ID – Perguruan tinggi yang ada saat ini dinilai belum optimal membaca peluang dan karakteristik kedaerahan di tempatnya masing-masing untuk membuka program studi kebudayaan, melainkan mengutamakan program studi yang skala nasional popular kendati belum tentu bernilai ekonomis bagi lulusannya. Beberapa perguruan tinggi memang telah membuka program studi yang sesuai dengan kebutuhan kedaerahannya namun jumlahnya sangat sedikit dan terbatas. Para pimpinan pusat dan pimpinan perguruan tinggi diharapkan mampu membaca peluang itu di samping juga memiliki political will untuk membuka program studi kebudayaan lokal setempat agar khazanah dan nilai-nilainya tidak punah ditelan zaman.
Pandangan ini mengemuka dalam bincang-bincang tentang “Kebudayaan Mandailing-Angkola: Peradaban yang Dilupakan” di kediaman Askolani Nasution pemerhati sejarah dan kebudayaan Mandailing, hadir bersama Kepala Perpustakaan STAIN Mandailing Natal, Ahmad Asrin dan peneliti budaya Mandailing, Rohman pada Kamis (26/10/2023).
Askolani mengatakan tidak adanya tradisi menulis yang baik di kalangan tokoh-tokoh Mandailing semakin menjauhkan kesadaran orang Mandailing terhadap peradaban dan khazanah yang mereka miliki. Sementara khazanah Mandailing-Angkola justru diminati negara asing, Askolani mencontohkan bahasa dan kebudayaan Mandailing menjadi satu studi yang konsen dipelajari di Universitas Hawaii, Manoa Amerika Serikat oleh pelopornya Uli Kozok dosen dan pakar filologi bahasa dan sastra.
Sudah ratusan sastra dan peninggalan kebudayaan Mandailing-Angkola yang dibawa Kozok ke Hawaii untuk dipelajari dan diteliti secara mendalam dengan civitas akademika di sana, sementara kita tidak menyadari potensi tersebut. Dalam hal ini ia menyebut kehadiran perguruan tinggi negeri yang ada di Mandailing Natal saat ini menjadi harapan besar untuk menggagas dibukanya studi Bahasa dan Budaya Mandailing agar dapat menjadi salah satu program studi yang ditawarkan.
“Melihat kurikulum kita saat ini menetapkan mata pelajaran “Muatan Lokal” sebagai mata pelajaran wajib bagi peserta didik di tingkat sekolah dasar dan menengah, maka hal ini menjadi peluang besar bagi para lulusan dari program studi tersebut untuk menjadi guru. Sementara kita menyaksikan guru-guru yang mengajar muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai bahkan jika diteliti banyak yang tidak mengerti tentang kebudayaan Mandailing sebab tidak memiliki bekal ilmu yang memadai, sehingga tidak memberikan hasil yang diharapkan.”
Salah satu hal yang menarik diungkapkan dalam diskusi tersebut adalah tentang etnik penduduk kecamatan Natal. Kenapa masyarakat Natal secara sosio-kultural memiliki marga namun lebih dominan mempraktikkan kebudayaan Melayu-Minang, hal ini diduga kuat karena pengaruh pendudukan Raja Pagaruyung pada masa pra kemerdekaan yang sangat kuat dari Sumatera Barat sehingga lambat laun identitas kebudayaan Mandailing di Natal menjadi hilang, dan penduduk aslinya lebih mengasosiasikan dirinya sebagai etnik melayu pesisir. Sehingga untuk mengetahui etnik asli orang Natal perlu diteliti dengan massif dan mendalam.
Kesadaran orang Mandailing-Angkola terhadap kekayaan budayanya telah tergerus oleh arus modernisasi yang banyak memberikan nilai pragmatisme. Sehingga cara berpikir orang tidak lagi menimbang epistemologi-estetik dari kearifan budaya yang ada, namun lebih pada nilai kepraktisan suatu pekerjaan. Pada akhirnya budaya ditinggalkan dan orang bertindak berdasarkan mana yang lebih banyak memberikan nilai ekonimi pada dirinya.
Menurut Rohman, untuk mengawali harapan dibukanya program studi bahasa dan kebudayaan Mandailing-Angkola di perguruan tinggi Islam seperti STAIN Mandailing Natal saat ini harus dimulai dengan memantik geliat para dosen untuk meneliti tentang kebudayaan Mandailing. Gerakan ini sangat baik dengan membentuk forum diskusi ilmiah bagi dosen dan pihak lain di STAIN Mandailing Natal agar dapat menyodorkan argumentasi ilmiah secara terorganisir. Rohman menambahkan, sementara ini di STAIN Mandailing Natal disediakan media online “madina.web.id” untuk menuangkan pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat dibincang-debatkan secara ilmiah.
Hal ini mengingat perbincangan ilmiah sangat langka dilakukan para dosen di lingkungan perguruan tinggi akibat dari sibuk memikirkan angka kum untuk menaikkan jenjang kepangkatan. Hal ini juga berkait kelindan dengan banyaknya pekerjaan administratif, minimnya tunjangan dosen dan tak memiliki ghirah keilmuan yang kuat. Dengan kondisi ini diperlukan anggaran yang memadai untuk menunjang dosen dalam mengembangkan keilmuan. Pemerintah daerah juga dinilai tak memiliki political will untuk memberikan politik anggaran yang baik dalam pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan di daerahnya.
Kendati demikian, masih banyak harapan dan peluang untuk menggerakkan itu semua, harapan tersebut tentu berada di pundak perguruan tinggi. Ahmad Asrin selaku kepala perpustakaan mengatakan mungkin kita bisa memulainya dengan melakukan digitalisasi artefak dan peninggalan masa lalu yang masih terdapat di Mandailing seperti “Pustaha Lak-lak” dan lain sebagainya. Hal ini penting mengingat usianya yang sudah lama dan dikhawatirkan punah ditelan zaman.
Rohman menimpali, kita perlu merevitalisasi literasi di lingkungan kita. Kehadiran STAIN Mandailing Natal merupakan dambaan dan jawaban atas kegelisahan yang terjadi di kalangan pemerhati budaya Mandailing-Angkola. Dosen dan mahasiswa perlu digerakkan secara kontinu untuk menulis dan meneliti agar dapat mewarisi khazanah keilmuan dan kebudayaan dengan baik yang selama ini tidak dimiliki para pendahulu kita.