Batik sudah menjadi ikon penting Indonesia. Setiap penyebutan batik, orientasinya pasti menyangkut Indonesia. Batik juga bukan sebatas produk budaya, tetapi menjadi bagian dari industri kreatif Nasional.
Benar bahwa batik adalah budaya asli Jawa. Meskipun begitu, berbagai daerah sudah mengembangkan batik sendiri sesuai dengan karakteristik daerah mereka. Pengembangan itu bukan untuk meniru entitas budaya Jawa, tetapi sebagai usaha menyebarluaskan karakteristik daerah sendiri melalui seni berpakaian. Karena itu, harus dipahami bahwa pengembangan batik bukan karena latah meniru budaya lain, tetapi sebagai sarana untuk menguatkan dan mewariskan budaya daerah sendiri. Tentu jika motif dan corak yang digunakan tetap mengadopsi ragaman corak dan motif tradisional daerah.
Mandailing Natal yang memiliki banyak ragaman karakter budaya, sudah sepatutnya juga memiliki dan mengembangkan batik yang bermotif dan corak khas Mandailing. Tentu karena beberapa waktu yang lalu, telah ditetapkan Batik Bercorak Mandailing melalui Peraturan Bupati Mandailing Natal No. 15 Tahun 2021 tanggal 17 Juni 2021.
Konsep Batik
Motif dan corak Mandailing memiliki karakter yang khas, baik dalam warna maupun corak. Sejarah tumbuhnya corak tersebut berkembang sejak awal peradaban Mandailing. Peradaban itu bisa dirunut sejak masa prasejarah yang dalam budaya Mandailing disebut dengan masa na itom na robi. Hal itu ditunjukkan dengan warna hitam. Lalu Mandailing memasuki masa kepercayaan terhadap tuhan yang ditandai dengan warna putih. Berkembang lagi dengan masa kerajaan awal yang ditandai dengan warna merah, hingga ke masa keemasan kerajaan-kerajaan Mandailing dan dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Masa keemasan itu ditandai dengan warna kuning. Karena itu, warna hitam, putih, merah, dan kuning menjadi warna dasar berbagai corak budaya Mandailing.
Warna tersebut diwujudkan dalam berbagai wujud kebudayaan Mandailing. Misalnya, tampak dalam bendera adat, pakaian adat, arsitektur, dan lain-lain.
Semua unsur itu harus menjiwai konsep ragam dan corak batik Mandailing. Dengan begitu, batik khas Mandailing memiliki unsur yang kuat sebagai produk kebudayaan daerah.
Filosofi Batik
Batik Mandailing setidaknya mengacu kepada konsep filosofi yang unik, bernilai jual, dan menjadi kebanggaan. Ketiga unsur itu saling terkait.
Unik mengacu kepada desain yang khas. Mulai dari pemilihan warna, motif, dan desain batik secara umum. Keunikan itu diperoleh jika batik khas Mandailing sungguh-sungguh mengadopsi berbagai kekayaan budaya yang khas.
Desain yang khas tentu akan menentukan nilai ekonomis produk Batik Mandailing. Selama kekhasan itu terpelihara, batik bercorak Mandailing akan mampu menarik perhatian pasar. Desain itu misalnya tampak dalam berbagai ragaman batik. Misalnya ragam resmi atau ragam santai. Ragaman itu juga tampak dalam segmen usia pengguna. Misalnya, batik untuk anak-anak, untuk remaja, dan untuk orang tua. Atau bisa juga ragaman untuk konteks sosial. Misalnya batik untuk anak sekolah, batik untuk prosesi adat siriaon, prosesi adat siluluton, dan lain-lain. Perbedaan keperluan itu sudah sepatutnya memperhatikan desain yang berbeda.
Jika batik bercorak Mandailing sudah mampu menarik daya beli, tentu akan melahirkan kebanggaan bagi orang Mandailing. Tidak lagi seperti selama ini, orang Mandailing hanya menggunakan batik bercorak daerah lain.
Referensi dan Ornamen
Sumber-sumber desain batik bercorak Mandailing ada banyak ragam. Seluruh produk budaya Mandailing merupakan sumber inspirasi yang kaya untuk menciptakan ragaman corak. Sumber-sumber itu antara lain:
Bagas Godang
Segala yang melekat sebagai ornamen Bagas Godang dapat dijadikan sebagai sumber desain motif Batik Mandailing. Misalnya yang terdapat pada bindu.
Motif Bindu Hutagodang
Pola Bindu Panyabungan Tonga
Jika diperinci lagi, ornamen dalam bindu terdiri dari:
a) Bona Bulu:
Melambang suatu pemukiman yang sudah memiliki prasyarat menjadi Bona Bulu atau Huta. Prasyarat itu antara lain Raja Pamusuk, Namora Natoras, Dalihan Na Tolu, Ulu-balang, Datu, dan Sibaso.
b) Pusuk ni Robung:
Melambangkan sistem sosial yang berlandaskan Dalihan Natolu
c) Burangir:
Melambangkan fungsi kekuasaan Raja dan Namora na Toras, bahwa segala sesuatu ritus harus meminta restu raja dan namora na toras.
d) Sipatomu-tomu:
Melambangkan hak dan kewajiban yang melakat pada raja dan rakyat (alak na jaji). Kewajiban raja memelihara kesejahteraan dan hukum adat yang berlaku dan kewajiban rakyat untuk mematuhi hukum adat tersebut. Hak raja adalah memutuskan segala sesuatu yang menyangkut tata dan hukum pemerintahan yang mengatur kehidupan bersama. Hak rakyat adalah jaminan penghidupan dan rasa keadilan sosial.
e) Bintang na Toras:
Melambangkan pamungka huta yang dalam tatanan pemerintahan berkedudukan sebagai raja dan namora na toras.
f) Rudang:
Memiliki makna sebagai Huta atau Banua yang sudah sempurna dengan segala atribut pemerintahannya.
g) Raga-raga:
Melambangkan keteraturan dan keharmonisan bersama, baik dalam hubungan pemerintahan, hubungan kekerabatan, pernikahan antar-marga, dan lain-lain.
h) Sancang Duri:
Memiliki makna kejadian yang tidak terduga. Bukan hanya musibah, termasuk tanggungan sosial.
i) Jagar-jagar:
Memiliki makna kepatuhan bersama terhadap ketentuan atau hukum adat yang berlaku. Hukum adat itu antara lain Adat Marraja, Adat Marmora, Adat Markahanggi, Adat Maranak Boru, dan adat pergaulan Naposo dan Nauli Bulung.
j) Bondul na Opat:
Memiliki makna aturan dan ketentuan dalam berperkara. Dalam setiap pemutusan perkara harus melalui Sidang Adat yang melibatkan Bondul na Opat, yakni Pemerintahan Raja, dan Dalihan Na Tolu.
k) Alaman Bolak:
Memiliki makna Alaman Silangse Utang, sesuai dengan fungsi Alaman Bolak dan Hak-hak Hukum yang melakat pada Alaman Bolak tersebut.
l) Bulan:
Memiliki fungsi menerangi saat kegelapan, membawa keberuntungan, kemuliaan, dan kesejahteraan Huta.
m) Mata ni Ari:
Memiliki makna sikap raja yang adil dan bijaksana, memberi ruang penghidupan bagi setiap warga huta. Raja yang adil dan bijaksana itu dilambangkan dengan ungkapan “marsomba di balian, marsomba di bagasan”.
n) Gimbang:
Memiliki makna tingkat kepedulian dan distribusi sosial yang tinggi. Huta memiliki lahan mata pencaharian yang luas, memiliki lumbung (Opuk) untuk sewaktu-waktu didistribusikan bagi penduduk yang kekurangan makanan.
o) Takar:
Memiliki makna sebagai wadah keadilan sosial bagi setiap warga huta. Setiap orang harus saling menolong, baik melalui peran pemerintah tradisional maupun sesama warga.
p) Lading:
Memiliki makna kesiap-siagaan dalam bermata pencaharian.
q) Podang:
Memiliki makna penegakan hukum atas setiap pelanggaran.
r) Tanduk ni Orbo:
Memiliki makna kekuasaan kebangsawanan yang melekat pada raja dan namora natoras.
s) Lipan:
Memiliki makna azas musyawarah dan permufakatan. Pengambilan keputusan yang lahir dari prosesi itu bersifat mutlak.
t) Ulok:
Memiliki makna kedudukan dan fungsi raja yang melekat pada azas kemuliaan dan kebesaran untuk melindungi huta.
u) Hala:
Memiliki makna kepatuhan pada “janjian” yang sudah disepakati bersama dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
v) Barapati:
Memiliki makna keteguhan mencari nafkah dalam berbagai bentuk mata pencaharian. Dilambangkan seperti burung merpati yang pergi pagi hari dan pulang ke sarang pada sore hari.
w) Manuk na Bontar:
Memiliki makna sanksi hukum yang paling berat, yakni diusir dari huta (pahabang manuk na bontar)
x) Timbangan:
Memiliki makna kebenaran dan keadilan.
y) Gumbot:
Melambangkan raja sebagai suri-teladan: beradat, mematuhi hukum, belas-kasih, lapang dada, beretika, dan respek terhadap penderitaan orang lain.
z) Parbincar ni mata ni ari:
Bermakna sebagai sumber kehidupan, menerangi. Simbol ini terdapat pada pintu masuk ruang tengah Bagas Godang.
Relief dan Ukiran Tradisional
Relief, pahatan, dan ukiran yang melekat pada berbagai bagian dari arsitektur Mandaling, juga dapat dijadikan sebagai sumber desain Motif Mandailing. Misalnya:
a) Ornamen pada Bagas Gambar Pakantan
b) Pahatan pada patung Sangkalon di Bagas Godang Huta Godang, patung Tagor pada Bagas Godang Panyabungan Tonga, dan lain-lain.
c) Pahatan pada kuburan tradisional di Pakantan
Busana Adat
Segala yang menjadi pernak-pernik busana pengantin Pria dan Wanita dalam kebudayaan Mandailing juga menjadi sumber desain Batik Mandailing. Misalnya; a) Ampu; b) Bulang; c) Gonjong; dan lain-lain.
Ornamen Arkeologi
Berbagai motif dan relief yang ditemukan di candi Simangambat misalnya, dapat dijadikan sebagai sumber desain Batik Mandailing.
Ulos/Parompa
Berbagai desain itu tentu bisa digabung satu dengan lainnya. Dengan begitu, ragaman batik bercorak Mandailing bisa sangat kaya dan menarik.
Pola Produksi
Pengembangan batik bercorak Mandailing tentu harus memperhatikan kondisi industri batik nasional saat ini. Terdapat lima jenis batik berdasarkan cara pembuatannya:
a) Batik Tulis: Batik Tulis 100 persen pembuatannya dengan tangan. Kain ditulis atau digambar dengan alat canting. Karena pembuatannya lebih rumit dan lama, harganya tentu jauh lebih mahal dibanding jenis lainnya.
b) Batik Cap: Sesuai dengan namanya, pembuatan batik mirip stempel. Desain dicetak pada lempengan besi, lalu dicelupkan ke dalam malam (tinta batik), lalu dicapkan ke bentangan kain.
c) Batik Cetak Sablon: Batik sablon, tidak berbeda dengan pengerjaan sablon pada umumnya. Desain difilmkan pada berpori, lalu dilumuri tinta, dan dioles dengan rakel. Semakin besar ukuran lempengan, semakin luas bidang batik yang dicetak. Cara ini lebih cepat dari Batik Cap.
d) Batik Printing: Pencetakan dilakukan dengan printer. Cara ini jauh lebih cepat dari cara lainnya, sehingga bisa dilakukan untuk pekerjaan partai besar.
e) Batik Lukis: Mirip dengan Batik Tulis, Batik Lukis merupakan karya seni yang tinggi. Selain menggunakan canting, juga bisa menggunakan kuas. Karena itu harganya jauh lebih mahal.
Pengembangan batik bermotif Mandailing tentu disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk partai besar misalnya, tentu dapat menggunakan cara cetak Batik Printing.
Editor: Rohman