Silakan Bagikan ke Teman-teman

Sebagai umat beragama, sudah seharusnya seluruh ucapan dan tindakan kita berpedoman pada nilai-nilai dasar dari ajaran agama yang kita yakini. Islam telah meletakkan satu prinsip yang menandai pemeluknya sebagai umat yang moderat dalam pengertian memiliki sikap adil dan berimbang dalam menghadapi setiap permasalahan. Nilai keadilan dan keberimbangan ini menjadi indikator kesalehan seseorang dalam menjalankan ajaran Islam.

Sumber nilai dari keadilan dan keberimbangan ini setidaknya tertuang dalam surat Albaqarah ayat 143:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًاۗ

Artinya: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”..

Makna pertengahan dalam ayat ini tidak memihak ke kiri dan ke kanan, suatu hal dimana dapat mengantarkan manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapa pun dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak (Shihab, 2007).

Keyakinan akan terwujudnya keadilan dan keseimbangan dalam kehidupan ini oleh umat Islam karena sistem dan ajaran Islam menjangkau segala aspek kehidupan, mulai dari cara membenahi diri, berhubungan dengan Tuhan (habl min Allah), interaksi sosial (habl min al-Nas), menjaga lingkungan (habl min al-‘alam) dan hal-hal yang bersifat kenegaraan. Semua tidak luput dari ajaran Islam yang berprinsip adil dan berimbang.

Sejalan dengan itu, dalam konteks ini Alquran menyebut fungsi dasar kemanusiaan adalah menjalankan proses penyembahan dengan kata lain disebut dengan ibadah. Sebagaimana tertuang dalam surat Al-Dzariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya: tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.

Menyembah dalam arti melaksanakan ibadah kepada-Nya secara episteme fikih terbagi menjadi dua. Pertama ibadah mahdhah (murni) dan ibadah ghair mahdhah (tidak murni/bercampur). Ibadah mahdhah adalah suatu prosesi ibadah yang dilaksanakan dengan dasar dalil yang jelas (qath’i) sesuai dengan teks dan penjelasan yang telah ditetapkan batasan-batasannya, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Sementara ibadah ghair mahdhah merupakan ibadah yang pengertiannya merupakan perbuatan yang mendatangkan kebaikan baik kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar, dan perbuatan itu diniatkan ikhlas karena Allah SWT.

Dalam Islam, dua ibadah ini menempati posisi yang sama. Pentingnya ibadah mahdhah tidak secara otomatis mengungguli ibadah ghairu mahdhah. Kewajiban melaksanakan ibadah shalat sama wajibnya bekerja mencari nafkah. Berpuasa dan menolong saudara yang membutuhkan sama pentingnya dalam ajaran Islam. Alqur’an menyatakan:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

Artinya: Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas 77).

Dalam praktek berkehidupan, keberimbangan dalam melaksanakan dua jenis ibadah ini bagaikan suatu jalan terjal yang berduri dan berkepanjangan. Kecenderungan untuk melaksanakan satu jenis ibadah dan mengabaikan jenis ibadah yang lain kerap dilakukan umat Islam.

Pemahaman dan sikap semacam ini sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru, jauh sebelum ini kita telah mengenal aliran-aliran pemahaman dalam tubuh umat Islam. Kaum Qadariyah dan Jabariyah adalah salah satu contoh aliran pemikiran dalam Islam yang menjadi embrio lahirnya kecenderungan pada salah satu jenis ibadah tersebut.

Penekanan pada satu ibadah dan pengabaian pada ibadah yang lain sering kali menimbulkan ketimpangan dalam kehidupan. Acapkali muncul kajian di majelis-majelis taklim yang menerangkan suatu ibadah sunnah yang pahalanya lebih banyak dibandingkan ibadah ini dan itu. Ada juga fenomena kajian-kajian agama yang fokus mengajak jamaahnya melaksanakan ibadah umrah dengan menerangkan bentuk-bentuk pahala yang akan diperoleh, hingga jamaahnya tergiur lalu menggadaikan harta pusaka keluarga, dan sebagainya.

Tentu masih banyak contoh bagaimana bentuk kecenderungan pada salah satu jenis ibadah ini kita temukan. Dalam hal ini kita melihat betapa besar kerusakan yang diterima umat Islam akibat corak pemikiran yang timpang ini. Beberapa uraian ini dapat menjadi renungan kita.

Betapa banyak kita temui umat Islam yang shalatnya rajin namun tidak memberi manfaat bagi sesamanya. Banyak yang memiliki harta mewah namun kikir mengeluarkan sedekah. Senantiasa bicara tentang iman namun abai terhadap kebersihan dan menjaga ekosistem. Dalam konteks ini, kerusakan alam dan bencana yang ditimbulkanya hendaknya dipandang sebagai akibat dari ketimpangan kita dalam mengamalakan ajaran Islam.

Kesadaran dan keyakinan kita terhadap keadilan dan keberimbangan dalam menjalankan ibadah individual dan sosial ini mutlak dimiliki. Untuk dapat memahami bagaimana kaffah-nya ajaran Islam sebagai pedoman bagi umat Islam tidak dapat hanya diketahui melalui ceramah agama semata. Kita perlu mempelajarinya dengan baik dan mendalam melalui sumber-sumber yang memadai. Dalam keyakinan kita, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, sehingga tidak mungkin Islam mengajarkan ketimpangan.

Dalam konteks menanamkan pemahaman yang berimbang, sebagai pemuka hendaknya ajaran Islam yang disampaikan tidak semata soal sunnahnya membasuh lobang hidung sebelum berwudhu atau segera ke masjid ketika mendengar kumandang adzan, tapi juga mengajarkan betapa pentingnya menanam pohon dan membersihkan pekarangan. Larangan yang disampaikan tidak semata soal zina dan bicara ghibah, namun juga larangan membunuh semut dan melempar anjing yang tak bersalah. Ancaman yang diberikan tidak saja soal hinanya para pelaku KKN, namun juga membahas betapa menderitanya rakyat kecil yang tak beruntung yang perlu diselamatkan. Dan seterusnya.

Hal terburuk dalam kehidupan beragama adalah, kita membiarkan berbagai ketimpangan terjadi di kehidupan kita, seraya memakinya dengan berbagai dalil. Namun saat bersamaan kita sebagai pelaku bagi ketimpangan pada jenis ibadah yang lain.

Sebagai penutup, kita akhiri dengan makna hadis: “Mari kita beribadah kepada Allah dimanapun kita berada. Iringilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan baik, dan bersosiallah dengan akhlak yang baik. Dengan cara itulah asa menggapai hidup yang seimbang itu dapat kita upayakan.

 

 

By Rohman

Pengajar di STAIN Mandailing Natal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *