Siapa saja yang berencana menjadi pemimpin agar memulai dengan mendidik diri sendiri sebelum mendidik orang lain, beradab dengan keteladanan sebelum dengan lidahnya. Setiap manusia pada hakikatnya memiliki fitrah (potensi) menjadi seorang penguasa. Keberhasilan seorang manusia dalam memimpin dirinya sangat berpengaruh terhadap proses kepemimpinan berikutnya, ketika ruang lingkup dan jangkauan serta masalah yang dihadapi jauh lebih luas dan kompleks. Kepemimpinan tingkat berikutnya inilah yang sering dinilai seakan-akan peranannya hanya untuk mengetahui hal-hal yang berada di luar dirinya. Anggapan ini sering menimbulkan gap pemikiran, bahwa kekuasan dalam kepemimpinan selalu identik dengan suatu lembaga, organisasi, dan kelompok, yang jangkaunnya lebih luas.
Hakikat kekuasaan dalam kepemimpinan merupakan kemampuan setiap manusia untuk mengembangkan serta memberdayakan segala hal yang terdapat di alam semesta ini, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya. Yang menjadi persoalan sekarang ini adalah dalam prakteknya penguasa kurang memilki jiwa patriotisme, keberanian berjuang demi kebenaran, melakukan perubahan mendasar untuk mencapai tujuan lembaga dengan menghadapi segala resiko, bahkan sangat jauh dari nilai-nilai keteladanan dalam membangun integritas sebuah lembaga. Banyak fakta yang dapat kita temui di lapangan terkait hal ini, terutama terkait hilangnya nilai-nilai kejujuran dan rasa tanggungjawab penguasa. Seorang penguasa menjadi ujung tombak dari semua kebijakan, justru menjadi momok bagi lembaga, bangsa, dan negara.
Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin, namun perlu disadari bahwa menjadi pemimpin tidak hanya membutuhkan keahlian praktis tetapi lebih daripada itu, tentu seorang pemimpin tidak hanya lahir dari keinginan untuk memimpin serta pengalaman, tetapi juga lahir dari sebuah proses pembelajaran yang panjang. Seiring perkembangan zaman, kepemimpinan secara ilmiah berkembang bersamaan dengan tumbuhnya Scientific Managemen yang kemudian berkembang menjadi ilmu kepemimpinan. Menjadi pemimpin beneran artinya berupaya bagaimana menjadi seorang pemimpin yang unggul, agar mereka berhasil menjalankan tugas-tugasnya. Tidak ada model/gaya kepemimpinan yang paling baik dan tidaklah tepat menerapkan gaya kepemimpinan yang sama pada setiap kondisi. Keberhasilan seorang pemimpin menurut hemat penulis didasarkan pada hal-hal berikut ini:
Pertama kepemimpinan yang Inspiratif, tugas utama pemimpin adalah memberikan inspirasi kepada masyarakat untuk bekerja mewujudkan hal-hal hebat dengan memaksimalkan seluruh sumber daya yang ada. Kata-kata dan tindakannya menjadi teladan yang memberikan harapan dan semangat bagi masyarakat. Cinta hadir dalam diri seorang pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya, rasa cinta ini akan meminimalisir berbagai bentuk kecurangan yang terjadi. Para pemimpin harus mulai mengasah dirinya, tanpa kemampuan memberikan ispirasi, seorang pemimpin semestinya tidak layak disebut sebagai pemimpin, ia hanya seorang administrator.
Kedua kepemimpinan yang Visioner, pemimpin perlu memiliki visi ke depan. Seorang pemimpin perlu menggunakan imajinasinya, guna membayangkan apa yang ingin dicapai pada masa mendatang. Saat ini, teramat sulit menemukan pemimpin yang visioner, yang banyak ditemukan adalah pemimpin opurtunis yang berusaha meraup keuntungan pribadi. Para pemimpin harus mengingat, bahwa mereka mampu membayangkan arah dari berbagai organisasi yang mereka pimpin. Bayangan itulah sebagai visi yang harus dibagikan ke seluruh elemen dan dihayati sebagai visi bersama. Para pemimpin harus memiliki keyakinan, bahwa visi tersebut mungkin untuk diwujudkan demi kebaikan bersama. Jika ia mampu bertindak seperti itu, maka namanya akan abadi dan jasanya akan dikenang sebagai pemimpin yang mampu membawa kebaikan bagi masyarakatnya.
Ketiga kepemimpinan yang Taktis, pemimpin harus memiliki taktik yang jitu untuk mewujudkan visinya. Para pemimpin harus mampu menerjemahkan inspirasi dan visi yang ia punya menjadi program-program yang praktis dan terukur keberhasilannya. Pemimpin tidak boleh hanya sekedar bicara, namun tidak bisa bekerja. Banyak pemimpin terlihat inspiratif dan visioner. Namun hanya terlihat saja, sejatinya mereka tidak bisa bekerja. Mereka hanya berbicara bijak, tetapi tidak memiliki program nyata dengan hasil yang terukur.
Keempat kepemimpinan yang Reflektif, memiliki program yang tepat tidaklah cukup, yang diperlukan adalah jaminan, bahwa program itu akan terlaksana dan tujuannya tercapai. Maka para pemimpin perlu secara rutin melakukan refleksi, yaitu tindakan untuk melihat ulang seluruh proses yang terjadi, baik proses di luar, maupun proses yang terjadi di dalam dirinya. Banyak pemimpin yang inspiratif, visioner, dan memiliki strategi yang jelas dan terukur, namun tidak memiliki kemampuan untuk melakukan refleksi. Akibatnya, program berjalan tetapi tidak ada kontrol kualitas yang jelas. Para pemimpin perlu untuk melihat seluruh proses kinerja organisasinya, sekaligus gerak jiwanya sendiri. Hanya dengan seperti ini berbagai tindakannya bisa bermakna untuk semua.
Kelima kepemimpinan yang Terbuka, para pemimpin sejati harus memiliki sikap dan sifat terbuka, mampu menerima perbedaan pendapat, menerima perbedaan pandangan hidup, dan melihat kritik sebagai tanda cinta yang perlu untuk dihargai. Banyak orang ketika sudah memimpin berubah menjadi arogan. Merasa lebih tinggi daripada orang-orang yang ia pimpin. Para pemimpin seolah-olah lupa akan tugasnya untuk melayani masyarakat, berubah menjadi penindas yang memikirkan keuntungan dan kejayaan pribadinya.
Keenam kepemimpinan yang Fleksibel, salah satu tanda nyata dari sikap terbuka adalah fleksibilitas. Setiap pemimpin harus memastikan, bahwa birokrasi dari organisasi yang ia pimpin tetap fleksibel. Prinsip yang harus dipegang adalah birokrasi ada untuk melayani masyarakat, dan bukan masyarakat kemudian yang dibuat repot untuk melayani birokrasi tanpa makna. Para pemimpin perlu untuk memastikan, bahwa hal inilah yang seharusnya terjadi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, maka birokrasi perlu untuk mencapai standar kemasukakalan, dan tidak boleh terjebak pada pola pikir “karena peraturannya begitu”.
Demikianlah beberapa tawaran bagi para pemimpin masa kini, menjadi pemimpin adalah kesedian mengemban tanggungjawab. Hakikatnya setiap manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya.
Sebagai kesimpulan, para pemimpin hendaknya tidak menyusahkan rakyat, ikhlas menerima gangguan dari mereka, bekerja keras untuk kenyamanan mereka, dan membunuh nafsu kekuasaan dalam dirinya. Sejatinya manusia memiliki pribadi mulia yang mampu berperilaku sesuai dengan tuntunan kitab suci. Pemimpin ideal (sempurna) merupakan manifestasi dari pribadi yang mampu memahami tentang dirinya, kemana akhir hidupnya, apa tujuannya, dan kepada siapa menyerahkan segala hal yang dialaminya. Kesadaran komprehensif harus tumbuh dalam dirinya, sehingga mampu berprilaku mulia sebagai wujud nyata dari ciri khas kemanusiannya. Oleh sebab itu, manusia tidak sekedar berkuasa dan bekerja lantas mati tetapi dia mesti tahu, kenapa?.
“Wallahu A’lamu bi al-Shwab”.