Pagi itu penulis terlibat diskusi yang topik pembahasannya trivia; ringan dan santai. Tapi ada juga sisi ilmiahnya, kata kawan sebelah. Pertanyaan pemantik adalah mengapa orang kita sering terlambat apalagi kalau ada rapat atau pertemuan. Kalau jadwal jam 8.00 WIB “biasanya” akan dimulai jam 8.30 atau jam 09.00.
Menurut pengalaman penulis rata-rata (walaupun belum ada riset ilmiah) setiap kegiatan rapat hampir selalu molor dari jadwal yang telah ditentukan dalam rentangan 30 menit atau lebih. Apakah punctuality (tepat waktu) itu penting? Pertanyaan ini sebagai mukadimah untuk memulai diskusi. Si kawan kemudian menjawab, bagi orang Arab waktu bagaikan pedang. “Orang Arab bilang al waqtu kassaif, fain lam taqta’hu qatha’aka , sementara orang Amerika bilang time is money”. Bagaimana dengan kita? Dia menjawab: biar lambat asal selamat.
Kalau dipahami diskusi ringan diatas ada juga benarnya, masalah waktu dalam tradisi kita masih belum menjadi perhatian atau boleh dikatakan tidak menjadi prioritas utama dalam kehidupan sehari-hari. Menunda pekerjaan apa yang seharusnya bisa dikerjakan hari ini menjadi besok adalah hal biasa. Terlambat menghadiri rapat sudah menjadi “lumrah” dan semua memaklumi itu bukan sebagai sebuah kesalahan. Itu sudah biasa dan tidak menjadi kekhawatiran dan buah pikiran apalagi menjadi bahan muhasabah dan introspeksi diri.
Mungkin karena kita beranggapan hal ini tidak menimbulkan masalah yang besar. Toh, masih bisa ikut rapat walaupun terlambat, masih bisa juga menikmati kue yang telah disiapkan panitia dan masih boleh tandatangan untuk presensi kehadiran rapat. Tidak ada juga sanksi yang didapat antara telat atau datang tepat waktu. Hal ini menunjukan bahwa Perkara terlambat ini remeh temeh, kecuali kalau ada kawan yang telat bayar hutang atau gaji telat masuk itu pasti akan menjadi masalah yang sangat besar.
Tepat Waktu dalam Unsur Geografi dan Linguistik
Bagi negara-negara yang berada di benua Biru dan Amerika, waktu sangat berharga bahkan mereka tidak mengenal tawar- menawar dalam urusan ini. Prinsip “Time is Money” memang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari, menghargai waktu itu adalah prinsip hidup. Kalau bicara historis ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka sangat disiplin dengan waktu, yakni masalah terkait masalah iklim dan ekspektasi.
Bagi orang Eropa yang mempunyai empat jenis musim memaksimalkan penggunaan waktu sudah menjadi tradisi turun temurun dan mendarah daging dalam kehidupan. Prinsip ini bukan tanpa alasan, kehidupan mereka banyak tergantung dari musim yang ada.
Musim menjadi tolak ukur untuk banyak hal. Perencanaan dan eksekusi apa yang mesti dikerjakan harus presisi dan tidak boleh meleset. Jika berubah atau bergeser dari rencana maka hukum alam akan bertindak. Jika mereka berleha-leha dan terlena yang mengakibatkan gagal panen, maka ketika musim dingin datang alam akan menghakimi mereka. Bisa dalam bentuk kekurangan sumber makanan, menipis penghasilan sehingga membuat mereka mesti mencari alternatif lain. Mereka mesti menunggu beberapa bulan berikutnya untuk kembali menanam sayuran atau sumber makanan lainnya. Sudah dipastikan dalam beberapa bulan tersebut mereka mendapat sumber makanan yang sedikit dan juga berpengaruh terhadap kehidupan juga. Harusnya ketika musim salju datang, lebih banyak aktifitas dalam rumah yang dilakukan seperti berkumpul dengan keluarga dan tidak memikirkan pekerjaan. Tetapi karena tidak disiplin dengan waktu, terpaksa mereka makan sumber makanan yang tidak begitu memadai. Kemungkinan berikutnya adalah masalah kesehatan, jika sedikit supply makanan akan menimbulkan fisik yang lemah, daya tubuh menurun dan sakit.
Ilustrasi di atas sangat kontras dengan keadaan yang ada di tempat kita sekarang yang hanya mempunyai dua musim. Kedua musim ini berotasi hampir presisi sekali, artinya bahwa kita bisa menebak kapan musim ini akan datang dengan pasti. Sehingga bermalas-malasan pun hari ini, besok masih bisa melihat matahari. Belum banyak perubahan alam yang terjadi, udara masih seperti kemaren dan terik matahari masih layaknya beberapa minggu lalu.
Tentunya ini berpengaruh kepada pola pikir kita besok saja ditanam jagungnya, toh besok masih ada hari, tiga puluh menit saja baru datang toh salju tidak turun. Masih banyak kalimat-kalimat “denial” yang membenarkan setiap argumen yang dibangun. Begitulah adanya, alam dan kondisi geografis kita tidak bisa seketat alam benua Eropa, sehingga “vonis” alam hanya hukuman ringan saja yang masih bisa dikerjakan esok hari, dua hari lagi, atau minggu depan. Kembali ke konsep alam di atas, kondisi geografis memaksa manusia untuk keras kepada dirinya sendiri. Orang-orang harus bertarung mengalahkan kondisi alam sehingga satu menit sangat menentukan 1 jam berikutnya dan 1 hari selanjutnya bahkan akan berpengaruh pada 1 tahun berikutnya.
Layaknya pepatah bangsa Arab tadi, jika kita tidak mampu memotong dan menaklukkan waktu, maka waktu tersebut akan menelan kita. Kalau rapat molor, tentunya jadwal kerja berikutnya berantakan, waktu sholat bergeser, makan siang juga berubah, dan tugas-tugas lain dikantor mengalami reschedule. Pendeknya, jika tidak tepat waktu, maka akan ada banyak rencana berikutnya yang otomatis juga pindah jadwal. Dalam tataran konsep ideal, algoritma tepat waktu ini semestinya mendarah daging dalam jiwa bangsa kita dan mengkristal dalam mindset. Yang kemudian diturunkan dalam bentuk tingkah laku, jika dilakukan secara longitudinal maka akan menjadi habitual.
Dari segi linguistik sangat minim sekali kosakata yang berhubungan dengan disiplin waktu dalam budaya kita. Sebaliknya dalam budaya Eropa, Australia dan Amerika konsep punctuality sangat jelas dan rigid. Contoh sederhana saja, Bahasa Inggris baik yang versi UK atau US secara umum mempunyai 3 bentuk perubahan waktu dan 16 jenis tenses, sementara Bangsa Arab ada 3. Apa yang bisa diambil iktibar dari penggunaan tenses ini? Yang paling simpel tentunya adalah bagaimana perubahan kata dan konteks kapan digunakan. Artinya, pada kosakata yang mereka ucapkan banyak perubahan-perubahan bentuk kata kerja yang kesemuanya mengindikasikan bahwa ada pergerakan, perencanaan, pelaksanaan, perpindahan, dan perubahan pada diksi yang mereka pilih. Kata eat (makan) mempunyai beberapa bentuk perubahan yang semuanya mesti menyesuaikan dengan konteks dan tenses.
Sehingga dengan melihat perubahan bentuk kata kerja (verb) saja kita akan tahu konteks kejadian itu terjadi, sudah, sedang atau akan berlangsung. Secara tidak langsung akan ada proses exposure di dalam otak untuk men-setting waktu kapan akan dilaksanakan. Waktu yang telah terprogram dalam pikiran tersebut akan otomatis memberikan stimulus pada belahan otak yang berfungsi sebagai pengingat. Sehingga sudah tertanam dan berakar mereka mesti menepati apa yang telah “terprogram” dalam alam bawah sadar otak, yang tersimpan rapi di rak otak sebelah kanan. Sehingga jika ini dilakukan secara terus menerus akan menghasilkan sebuah kebiasaan yang kemudian berubah menjadi tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Itu baru satu kosakata saja (eat) masih banyak lema yang lain yang mengalami perubahan bentuk sesuai tenses dan konteks kalimat. Bayangkan saja ada ratusan bahkan ribuan lema lainnya, bukan mustahil otak secara otomatis akan protes ketika mereka tidak tepat waktu.
Akan tetapi, pada linguistik kita tidak ditemukan perubahan kata yang terkait dengan tenses sehingga untuk memahami maksud kata diperlukan tambahan kata penjelas. Kata “makan” sebagai contoh, akan sulit dipahami kapan waktunya jika tidak kata penjelas seperti akan makan, sedang makan atau telah makan. Makan akan tetap makan, walaupun tiga menit yang lewat, dua tahun akan datang. Telah makan ataukah belum makan, bahkan sedang makan, konsekuensi perubahan katanya tidak ada, akan tetap seperti itu; makan. Sehingga secara tidak langsung dapat dipahami bahwa mau rapat dimulai jam 8 (sesuai jadwal) molor tiga puluh menit atau ditunda habis zuhur akan tidak ada perubahan bentuk kata, yang penting rapat.
Tidak ada schedule/timeline yang ketat, toh kosakata rapat tetap tidak mengalami perubahan bentuk, sehingga bisa dipakai kapan saja waktunya. Sejauh ini tidak ada kata “rapat-ed” untuk bentuk lewat atau “rapat-ing” untuk yang sedang berlangsung. Sehingga fokus audien pada rapat bukan pada waktu kapan rapat akan dimulai, yang penting rapat “terlaksana”.
Habit ini memberikan stimulus pada pikiran bahwa hal yang esensial adalah rapatnya, bukan waktunya. Sehingga hal ini kemudian memfosil dalam memori bawah sadar manusia, ketika mendengar ada undangan rapat gelombang otak akan meng-capture otomatis apa tema rapat, siapa peserta, siapa pembicara, dimana lokasi, saya harus menyampaikan apa nanti. Waktu atau schedule rapat tidak terprogram dengan baik sehingga tidak direspons alam bawah sadar.
Selain itu, banyak juga kosakata kata penjelas yang agak sedikit “non-observable” yang sulit untuk diukur terkait waktu. Misalnya, sehabis zuhur, sebelum waktu makan siang, sebentar lagi setelah selesai tugas. Jam 14.00 masuk kategori selepas zuhur, begitu juga jam 17.00 juga terhitung setelah zuhur, bahkan jam 20.00 malam juga setelah zuhur. Kosakata yang dipakai ini bisa dikatakan tidak “ilmiah” dalam pemahaman tidak adanya durasi waktu yang presisi dan tidak dapat diukur.
Kalau saja kosakata sehabis zuhur ditambahkan dengan negasi jam 13.50 maka kalimat tersebut menjadi “observable” dan ilmiah. Sekali lagi, pikiran akan sulit memproses “warning / alarming” pada gelombang otak untuk diteruskan pada memori manusia bahwasanya waktu rapat sebentar lagi, 2 menit, 10 menit lagi, atau 30 menit lagi. Sehingga tubuh akan bereaksi yang membuat kita bisa mempersiapkan diri sebelum waktu yang telah ditentukan.
Mengapa sering tidak tepat waktu?
Mengapa budaya telat atau tidak disiplin waktu mengakar? Setidaknya penulis melhat ada tiga alasan yakni; tidak disiplin waktu tidak ada sanksi, niat, dan exemplary (keteladanan).
Mereka yang datang tepat waktu dan telat 30 menit atau telat banget (sepuluh menit sebelum penutupan) tidak ada perbedaan perlakuan. Sehingga tidak ada konsekuensi yang mereka dapat, hal ini membuat banyak orang memilih tidak tepat waktu. Di negara yang sangat strict dengan waktu akan marah jika kita terlambat. Dua alasan bagi mereka untuk tidak kompromi dengan waktu yakni moral dan moril.
Dari segi moral, mereka yang datang tidak tepat waktu dianggap tidak bisa menghargai orang lain dan tidak bertanggungjawab atas janji yang telah disepakati sebelumnya. Dari segi moril, banyak waktu terbuang sia-sia untuk menunggu seseorang jika dikonversi ke dalam bentuk pekerjaan maka akan banyak menghasilkan karya bahkan uang. Jika telat sampai satu jam, maka sudah berapa banyak artikel yang bisa direview, pekerjaan yang terselesaikan, membaca novel kesayangan, produk yang bisa dibuat terbuang sia-sia saja.
Mengapa seseorang yang mendapat promosi baik itu pejabat, kepala sekolah, kepala desa, staf, calon legislatif sebelum pemilihan datang tepat waktu kalau diundang rapat? Jawaban sederhananya karena ada reward & punishment.
Pada sisi punishment, telat mereka datang maka simpati rakyat berkurang, rakyat tidak percaya; “baru saja mau menjadi calon sudah menunjukan sikap yang tidak elok” begitu seloroh orang kampung. Datang mereka tepat, sebaliknya dari sisi reward, mereka akan mendapat dukungan masyarakat, sekurang-kurangnya pujian verbal. Sehingga disiplin waktu sangat mempengaruhi performa, walaupun setelah terpilih kembali lagi ke ”setelan pabrik” atau yang biasa disebut fabric mode.
Contoh sederhana lainnya adalah Bandar udara. Bandara dimana saja di belahan bumi orang-orang akan sangat fokus dan tepat waktu. Karena ada konsekuensi yang mesti ditanggung kalau seandainya telat datang. Salah satunya gagal terbang yang membuat uang tiket terbuang percuma. Secara naluri, jika sudah bicara sanksi apalagi dalam ranah untung-rugi akan membuat manusia menjadi disiplin dan sangat menghargai waktu.
Manajemen bandara ini jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik itu di sekolah, kantoran, ruang rapat, niscaya akan membuat orang-orang akan peduli dengan waktu. Seandainya setiap kali rapat ada aturan bahwa yang datang tepat waktu dapat uang lima ratus ribu rupiah, kemungkinan besar sangat sedikit sekali yang terlambat datang. Sebaliknya yang telat datang didenda lima ratus ribu rupiah juga, maka akan sangat sedikit atau hampir tidak ada yang datang terlambat.
Yang kedua adalah niat. Sebenarnya setiap warga masyarakat mampu bahkan sangat mampu menghargai waktu dan disiplin. Hanya saja terkadang niat yang belum muncul sehingga datang tepat waktu bukan menjadi fokus utama tetapi datang menghadiri acara itulah tujuan utama. Karena niat melibatkan antara otak dan hati, gabungan antara pikiran dan perbuatan dan keparalelan antara keinginan dan aksi nyata.
Paling tidak, ketika sudah berniat makan akan ada kemauan untuk menepati. Kalau berkunjung ke Singapura, warga masyarakat kita akan sangat disiplin, tidak membuang sampah sembarangan, naik kendaraan mengikuti waktu yang telah ditentukan, bahkan kalau berjanji tepat waktu. Ini artinya bahwa masyarakat kita pada dasarnya sangat bisa disiplin dan menghargai waktu. Hal ini tidak terlepas dari niat dan keinginan untuk melaksanakan apa yang telah direncanakan. Pikiran sudah memberi alarm ketika akan masuk ke Singapura tidak boleh buang sampah sembarangan.
Di Hongaria keberangkatan kendaraan umum harus sesuai dengan jadwal yang terpampang hampir di setiap halte bis dan juga stasiun kereta. Telat dalam hitungan menit saja pihak armada tidak bisa mentolerir. Sehingga otak dan otot akan beradaptasi dengan lingkungan, otak memberi stimulus dan tubuh bereaksi menerima sehingga sinkron antara pikiran dan perbuatan. Pikiran selalu memberi warning secara otomatis, jangan telat, kalau telat ketinggalan bus, jangan terlambat datang pertemuan kalau terlambat akan dianggap tidak sopan.
Yang terakhir adalah exemplary atau keteladanan. Dalam sebuah organisasi teladan atau contoh mempunyai pengaruh signifikan terhadap prilaku orang-orang sekitar dalam hal ini karyawan dan para staf. Jika kita seorang guru, kalau mau mendisiplinkan siswa maka guru tersebut harus datang duluan sebelum siswa datang. Sehingga siswa tidak bisa membantah dengan argumen yang dibuat-buat dan mereka akan menaruh respect yang tinggi.
Jika seorang pemimpin suatu perusahaan maka tugas kita adalah harus disiplin pada diri sendiri sebelum mendisiplinkan karyawan. Harus datang lebih awal dari staf sehingga tidak ada celah lagi para staf datang terlambat. Begitu juga jika kita berprofesi sebagai kepala desa, ketika ada rapat maka kita dan jajaran mesti lebih dulu hadir untuk memberikan teladan dan contoh untuk ditiru. Jangan kita jadi seperti agen kendaraan yang ada di terminal-terminal, dia mengajak penumpang untuk berangkat sementara dia sendiri tidak berangkat.
Penulis percaya ketika top leader suatu institusi, perusahaan, lembaga telah hadir dalam ruangan rapat, maka para staf tidak berani datang terlambat. Apalagi dia berani menjatuhkan sanksi bagi yang terlambat. Maka kosakata “diundur, molor, digeser, di-cancel, ditunda, akan dimulai sebentar lagi” akan sedikit dipakai dalam kamus dunia pekerjaan dan kehidupan perkantoran atau kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya, bangsa kita bisa sejajar dengan bangsa “Samurai Biru” dalam hal kedisiplinan bahkan bisa sejajar dengan negara “Paman Sam” dan Tanah Britania dalam urusan punctuality jika saja mindset diubah dan dilakukan re-programming. Selain itu pola-pola lama warisan feodalisme mesti “dimuseumkan” kemudian diganti dengan tradisi baru yang menganggap waktu adalah barang berharga. Waktu merupakan alat untuk melakukan inovasi dan kreasi tanpa mengesampingkan fungsi dari detik, menit, dan jam dalam setiap kesempatan. Kita mesti memasukkan algoritma waktu pada etalase memori yang siap protes kapan saja jika kita mau berleha-leha dan menunda-nunda pekerjaan.