Pada Tahun 2023 lalu, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi me-release aturan terkait dengan tidak mewajibkan skripsi sebagai tugas akhir untuk mahasiswa. Kebijakan itu tertuang dalam Permendikbudristek No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Kebijakan “kontroversial” ini ditanggapi beragaram oleh akademisi, praktisi, masyarakat sipil bahkan juga politisi. Banyak yang setuju skripsi dihapus sebagai persyaratan untuk mendapat gelar sarjana. Mereka yang pro terhadap kebijakan ini mempunyai berbagai alasan pendukung seperti dosen pembimbing sulit ditemui, seringnya gonta-ganti judul, relevansi penelitian dengan kontribusi di masayarakat, proses bimbingan yang memakan waktu lama dan juga mewarisi budaya feodalisme.
Akan tetapi mereka yang kontra beranggapan bahwa skripsi merupakan markah yang membedakan civitas akademika dengan warga masyarakat biasa. Skripsi merupakan simbol paripurnanya proses akademis di kampus sehingga wajib dibuat sebagai syarat wisuda. Selain mereka yang jelas “hitam-putih” ada juga yang mengambil jalan tengah bahwa skripsi itu secara esensi masih ada tetapi dalam wujud saja yang diganti. Boleh dengan project, paper atau laporan kegiatan ilmiah lainnya. Sehingga mahasiswa diberi ruang untuk mengembangkan kemampuan akademik, skill, pengalaman mereka tanpa mengekang mereka harus menulis skripsi. Artinya ada beberapa alternatif yang bisa digunakan, sehingga mereka bisa memilih sesuai dengan passion, kemampuan dan kesanggupan tanpa diseragamkan.
Sejarah skripsi
Sebelum membedah lebih dalam anatomi regulasi di atas, ada baiknya juga memahami sejarah perjalanan skripsi itu sendiri. Jika ditinjau secara kebahasaan kata “skripsi” diserap dari bahasa Belanda “Scriptie” yang berarti “menulis” (Tundjung W. Sutirto, 2023). Selanjutnya, dalam buku yang berjudul De Idee Der Universiteit Edisi 1874 disebutkan bahwa skripsi merupakan laporan belajar seorang mahasiswa kepada pihak perguruan tinggi sebagai bentuk tanggungjawab akademisnya. Sesuai dengan nomenklaturnya, skripsi ditulis tangan oleh mahasiswa yang bersangkutan sehingga hal tersebut menjadi sebuah parameter kualitas dan kualifikasi seorang akademisi pada saat itu.
Secara historis, awal mula skripsi ternyata bukanlah lahir dari embrio kurikulum perguruan tinggi. Cikal bakal lahirnya skripsi bermula dari abad pertengahan di belahan dunia Eropa. Pada saat itu seseorang yang ingin masuk ke dalam suatu organisasi profesi harus menunjukan masterpiece atau mahakarya mereka. Karya tersebut kemudian dinilai oleh anggota asosiasi yang lain, jika karya tersebut layak dan memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan maka seseorang bisa bergabung. Kemudian dalam perjalanannya, ketika universitas-universitas di benua Eropa mulai menggeliat pada abad pertengahan pihak kampus mengadopsi tradisi pengakuan kualifikasi seseorang melalui “masterpiece” mulai diadopsi oleh pihak kampus. Tradisi ini kemudian menyebar ke seluruh kampus-kampus di belahan dunia tak terkecuali Indonesia.
Mengapa skripsi tidak lagi wajib?
Terlepas dari polemik yang menuai pro dan kontra, beberapa kampus di Indonesia sudah menerapkan kebijakan ini bahkan sebelum regulasi ini digulirkan. Namun, dalam prakteknya tidak semua jurusan di kampus yang sama menerapkan regulasi lulus tanpa skripsi, beberapa jurusan tertentu saja.
Penulis mendukung gagasan tidak mewajibkan skripsi khusus untuk S1 di perguruan tinggi yang ada di tanah air. Ada banyak alternatif yang bisa ditawarkan kepada mahasiswa Sarjana yang secara esensi mempunyai kualitas yang sama dengan skripsi, misal; project, pengabdian, mengikuti konferensi ilmiah, penerbitan artikel bereputasi, membuat novel, menciptakan lagu, menjadi narasumber seminar internasional dan masih banyak pilihan yang lainnya. Ada beberapa alasan mengapa kebijakan ini mesti didukung dengan pertimbangan; pengekangan diversitas skill, kontribusi, novelty, trend pembelajaran.
Yang pertama, penulis melihat bahwa penyeragaman karya tulis ilmiah menjadi skripsi mengesampingkan bakat, skill, dan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Skripsi, menurut hemat penulis, belum memberikan ruang kebebasan bagi mahasiswa yang mempunyai skill lain selain menulis dan meneliti. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang dari jurusan olahraga, seni, atau teknik akan lebih paham dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa praktek daripada yang bersifat teoritis.
Mereka yang punya kecerdasan kinestetik, spasial dan seni ini tentunya akan lebih memilih untuk menampilkan bakat mereka sebagai atlet, seniman, ataupun teknisi dibandingkan berkutat dengan tulisan ilmiah, mengumpulkan data demi data, kemudian menganalisa angka-angka dan hasil interview sampai “berasap” ubun-ubun. Sebagai contoh nyata, salah satu mahasiswa FBS Universitas Negeri Surabaya atas nama Adelia lulus S1 melalui pembuatan karya Orkestra. Kemudian ada juga mahasiswa UMM Malang Evita Hayatun Nufus lulus tanpa ujian skripsi dengan menulis artikel ilmiah yang terindeks SINTA. Potensi yang ada pada masing-masing mahasiswa bisa dimaksimalkan tanpa “Menyeregamkan” bakat dan kemampuan mereka. Kesuksesan akademis mahasiswa bisa diukur melalui parameter lain seperti publikasi jurnal, pengembangan model, pengabdian kepada masyarakat, membuat prototype dan lain lain.
Yang kedua, kontribusi yang dihasilkan melalui skripsi masih belum maksimal dan tepat sasaran untuk masyarakat luas. Manfaat yang dirasakan sejauh ini masih bersifat normatif dalam tataran teori dan kebutuhan administratif, belum menyentuh substansi kepada masyarakat banyak. Hal ini dapat diasumsikan bahwa efek nyata dari apa yang diteliti dalam skripsi belum berdampak signifikan untuk users atau pengguna. Masih tertinggal dalam rangkaian paragraf demi paragraf dalam setiap bab skripsi yang terjilid hard cover, terpajang di lemari buku dan rak-rak perpustakaan kampus dengan anggunnya.
Manfaat Penelitian yang ada di bab I skripsi dimaknai hanya sebatas untaian kata-kata teoritis saja bukan sebagai kontribusi praktis yang berdaya “magis” mengubah peradaban suatu kelompok masyarakat. Padahal, jika ditelisik kembali ada kalimat sakral “Agent of Change” yang selalu digaungkan sejak masa ospek sampai di ruangan perkuliahan, yang menjadi distingsi mahasiswa dengan masyarakt biasa.
Hal ini dipahami bahwa ada manfaat dan kontribusi yang bisa diberikan kepada orang lain tidak hanya berupa teori saja tetapi juga aksi nyata baik itu di sekolah, instansi, perusahaan, pesantren, karang taruna ataupun di masyarakat umum. Harus meninggalkan “legacy” yang bisa dipakai oleh orang banyak, ditiru oleh kaum awam, dipraktekkan oleh orang-orang di kampung halaman masing-masing mahasiswa.
Universitas Muhammadiyah Gresik memberikan “golden ticket” lolos tanpa skripsi kepada Diah Sulistiyowati karena dia berhasil memperoleh pendanaan PKM dari Kemendikbudristek Indonesia. PKM yang dia lakukan memberikan dampak yang luar biasa kepada masyarakat, berhasil mengamalkan filosofi mahasiswa adalah agen perubahan yang sesungguhnya. Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) melalui Keputusan Rektor UNS No. 787/UN27/HK/2019 Penghargaan Akademik Kegiatan Penalaran Mahasiswa memberikan kelonggaran kepada mahasiswa yang lolos finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) berhak wisuda tanpa skripsi.
Universitas Muhammadiyah Magelang juga melakukan hal yang sama memberikan “karpet merah” kepada juara 1,2, 3 olimpiade sains atau kompetisi keilmuan minimal level nasional, pemakalah seminar internasional, pemakalah konfrensi nasional. Mahasiswa berprestasi nasional mereka ini bisa dapat gelar Sarjana (S1) tanpa membuat skripsi. Secara sederhana dapat dipahami bahwa rekognisi yang diberikan oleh mahasiswa tersebut diatas setara bahkan melebihi sebuah skripsi. Singkatnya, mengingat kontribusinya, rekognisi seperti yang dijelaskan di atas layak menjadi pengganti skripsi.
Yang ketiga, berhubungan dengan nilai kebaruan atau yang biasa disebut novelty suatu penelitian. Nilai kebaruan merupakan rukun dan syarat yang mesti ada dalam sebuah penelitian yang mempunyai nilai distingsi, orisinilitas, kebaruan, dan uniqueness (Sukardi, 2009; Cohen, B.A, 2017). Realita yang ada, khususnya yang dialami penulis sebagai pembimbing, masih terdapat beberapa proposal skripsi yang “import” bahkan bisa dikategorikan “naturalisasi”. Judul mirip-mirip, metodologi penelitian sama persis, kajian teori serupa, yang berbeda hanya penulis, responden dan tempat penelitian. Ketika penulis googling internet dengan memasukan keyword yang sama maka, sim salabim proposal yang sedang dibimbing penulisannya mendekati 70% kesamaanya. Berterima kasihlah kepada “mbah google” yang telah memfasilitasi hal tersebut semua melalui tombol “enter” pada keyboard laptop atau PC.
Dalam esay edisi Koran Solo Pos, 7 September 2023, Tundjung W. Sutirto memaparkan bahwa banyak skripsi yang tidak lagi mengandung unsur kebaruan; tema sama, rumusan masalah sama, manfat sama, tetapi ruang dan tempat penelitian yang berbeda. Jika kondisi ini tetap diwariskan dalam pembuatan skripsi, maka secara esensi hanya “mentransfer” tulisan yang ditulis orang lain menjadi milik kita. Nilai orisinilitas dan kebaruan yang menjadi penciri utama sebuah riset dianggap hanya sebagai “aksesoris” saja dan hukumnya pun sudah berubah dari wajib menjadi mubah. Jika skripsi dialihkan menjadi projek lain, tentunya akan beda cerita. Sebagai contoh, mahasiswa PAI diberikan project untuk memberikan ceramah dan khutbah jumat di masjid-mesjid yang ada di sekitar tempat tinggal mereka, maka mereka akan melakukan dengan serius dan sangat berhati-hati. Mereka akan dinilai oleh banyak pasang mata, dan akan dikomparasi oleh jemaah dengan pencerah-penceramah lain jika materi dan metode yang akan mereka bawa terkesan “plagiat”. Mahasiswa Bisnis atau Ekonomi Syariah tentunya akan menciptakan usaha yang berbeda, unik dengan yang lain. Sehingga novelty akan terlihat langsung, karena jika mereka hanya menkloning usaha orang lain maka nilai jual akan menurun, bahkan akan ditinggal pelanggan. Begitulah ilustrasi yang ada jika skiripsi digantikan dengan kegiatan yang nilainya masih setara.
Yang keempat, skripsi, jika dilihat pada trend pembalajaran yang ada sekarang bukanlah “the only one” pilihan sebagai syarat wisuda. Trend pembelajaran yang ada hari ini tidak hanya fokus pada satu kognitif domain saja, tetapi juga pada afektif dan psikomotor. Hal ini tertuang dalam Permendikbud No 3 Tahun 2020 tentang SN-Dikti pasal 5 Ayat 1 bahwa learning outcome mencakup 4 aspek yakni sikap, pengetahuan dan keterampilan khusus dan umum. Ada variable lain selain pengetahuan yang menjadi indikator keberhasilan seorang mahasiswa di kampus. Hal ini dapat dinterpretasikan bahwa keterampilan baik khusus (tentang materi) dan umum (terkait kontribusi) menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan juga dalam kurikulum. Artinya, selain kemampun berpikir, mahasiswa juga harus bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat dan tentunya juga mempunyai nilai dan etika kepada orang lain.
Jika dikaitkan dengan Kurikulum Merdeka Merdeka Belajar (KMMB) maka banyak opsi yang bisa sebagai pengganti skripsi sebagai tugas akhir. KMMB menekan adanya kolaborasi dan partisipasi mahasiswa dengan stake holder untuk menjalin kerjasama dalam berbagai hal. Sehingga penggunaan project, pengabdian dan pendampingan atau pelatihan yang dibutuhkan oleh masyarakat menjadi opsi yang sangat masuk akal. Sehingga outcome sebagai penanda kesuksesan akademik mahasiswa tidak hanya berpaku pada 1 indikator yakni skripsi, tetapi ada tolok ukur lain yang relevan.
Tentunya pilihan dikembalikan kepada kampus masing-masing, silahkan dipertimbangkan sedetail mungkin dan analisa berbagai spektrum yang ada. Sebagai bahan renungan, ada sejumlah kampus yang sudah melaksanakan kebijakan ini bahkan jauh sebelum peraturan ini dikeluarkan. Berdasarkan data dari Tempo.com (2013) setidaknya ada 14 kampus yang telah menerapkan kebijakan penggantian skripsi dengan kegiatan lain yakni; Universitas Padjajaran, Universitas Brawijaya, Universitas Sebelas Maret, UNESA Surabaya, UMM Malang, Universitas Muhammadiyah Surabaya, UIN Maulana Malik Ibrahim, UIN KHAS Jember, UIR Riau, Universitas Pasundan, UMSIDA Sidoarjo, Universitas Muhammadiyah Magelang, Universitas Muhammadiyah Gresik, Universitas Muhammadiyah Kotabumi.
Di Australia untuk program Bachelor mereka punya coursework program pengganti skripsi. USA memberikan opsi professional project berupa jurnal, presentasi ilmiah, membuat film dokumenter, membuat usaha mandiri. The University of Nottingham, Inggris juruan Entrepeneurship, innovation dan management menggunakan Business Plan sebagai syarat kelulusan. Mahasiswa wajib presentasi atau pitching di depan professor dan CEO perusahaan startup local. Illinois Institute of Technology, USA memakai parameter coursework /project sebagai syarat kelulusan. University of Melbourne, Australia juga melakukan hal yang sama. Stanford University (ranking 5 dunia) mengkonversi tugas akhir / skripsi dalam bentuk riset mandiri. Sementara itu University of Cambridge (peringkat 2 dunia) dan Monash University (peringkat 42 dunia) menyediakan alternatif seperti mengikuti mata kuliah tambahan dan ujian akhir sebagai pengganti skripsi.
Regulasi yang dikeluarkan oleh “Mas Mentri” memberikan konsekuensi logis yang bisa mengakomodasi strengths, inovasi, kreatifitas dari mahasiswa. Aturan ini, sekali lagi, bukanlah sebuah “harga mati” yang tidak bisa ditawar lagi, ini masih bersifat elektif dan belum masuk tahap wajib. Hemat penulis, secara filosofi dan esensi peraturan ini bukan betul-betul meniadakan skripsi, akan tetapi lebih kepada mencari alternatif lain yang bobotnya “sebanding” dengan skripsi seperti protipe, jurnal, PKM, Seminar Internasional, menjadi atlet berprestasi, pembicara forum ilmiah internasional, pembuatan produk, penulisan novel atau buku, inisiator sekolah, dan banyak kegiatan lain. Sehingga leading sectors antara teori dan praktek dalam perkuliahan bisa aplikasikan dalam kehidupan nyata.