Ilustrasi: Santri berbincang-bincang (madina.web.id/Abdul Hanif Siregar)
Silakan Bagikan ke Teman-teman

Salah satu indikator penting dalam sistem pendidikan kita adalah siswa atau santri. Santri dimaknai sebagai peserta didik yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan berbentuk pondok pesantren dan madrasah. Santri tidak hanya identik dengan sarungan, berkopiah atau memakai ‘imamah, membawa, mengkaji dan memahami berbagai macam kitab turats, akan tetapi lebih daripada itu, santri merupakan simbol perlawanan terhadap penjajah yang mengganggu dan meruntuhkan wibawa bangsa dan juga ikut berkontribusi besar dalam menentukan nasib bangsa Indonesia. Karena itu, untuk mengenang perjuangan dan spirit kebangsaan santri dalam mempertahankan keutuhan dan kedaulatan NKRI maka Presiden Indonesia Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari bersejarah bagi santri dalam menjaga eksistensi bangsa Indonesia di mata dunia.

Tentunya santri yang dimaksud di sini adalah santri hebat yang memiliki cakrawala pemikiran yang luas, mumpuni di bidangnya, mampu berkiprah dan berkontribusi nyata dalam berbagai lini kehidupan dengan visi merawat jagat dan membangun peradaban dunia khususnya bangsa Indonesia.

Beberapa waktu yang lalu di berbagai media sosial banyak terjadi peristiwa yang sempat “mencoreng” nama baik tenaga pengajar (para kiai dan ustadz) dan santri di seluruh Indonesia sehingga memburukkan citra pesantren yang selama ini dianggap sebagai mashadir atau rujukan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat miris mendengar adanya seorang pengasuh pesantren yang tega memperkosa bahkan menghamili para santriwatinya. Seorang santri senior menindas santri juniornya, maupun santri atau siswa yang mengajak ‘duel’ dengan gurunya.

Semua itu terjadi tidak hanya dikarenakan lemahnya pondasi keimanan oknum yang berbuat tersebut akan tetapi cenderung tidak arif dan bijaksana dalam menggunakan media sosial ditambah dengan pengaruh maraknya berbagai tontonan yang tidak menjadi tuntunan dari kecanggihan teknologi yang seharusnya tidak layak untuk diakses atau ditelusuri. Ini merupakan sisi negatif yang harus segera dihapus dan digantikan dengan berbagai hal positif yang membanggakan dalam berkhidmah untuk kemajuan bangsa dan negara.

Dengan demikian, dalam menghadapi era industri 5.0, keberadaan santri yang hebat dalam berbagai aspek dan ruang yang ada sejatinya dijadikan sebagai sarana pengabdian untuk mengembalikan kejayaan Islam yang dahulunya pernah ada sebagai rahmatan lil ‘alamin. Oleh karena itu, indikator santri yang hebat tersebut bukan hanya menguasai dan memahami berbagai disiplin keilmuan Islam dan mengajarkannya pada umat, akan tetapi santri yang hebat adalah mereka yang bisa menguasai perekonomian umat, bersaing sehat di kancah politik, berjiwa patriot dan nasionalisme, negarawan, berbagi kepada sesama tanpa memandang ras dan agama sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat dapat memberikan kedamaian, keteduhan, menghargai perbedaan, betul-betul memanusiakan manusia walaupun berbeda keyakinan, tidak menyulut permusuhan, dan anti radikalisme.

Dengan kualitas dan kapabilitas yang dimiliki seorang santri yang hebat maka akan menjadi public figure yang dihormati karena keilmuan dan moralitas yang dimilikinya, sehingga upayanya dalam membangun peradaban dapat terealisasi dan menjadi uswatun hasanah di mata dunia.

Sejatinya santri yang hebat adalah mereka yang berani mengambil peran sesuai kompetensi dan skill yang dimilikinya, bertanggungjawab menjaga keutuhan bangsa sehingga membawa kehormatan di kancah internasional dan mentorehkan tinta emas sebagai spirit bagi generasi-generasi berikutnya di masa mendatang.

By Amrar Mahfuzh Faza

Saat ini sebagai Tenaga Pengajar di STAIN Madina.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *