Dalam bukunya Karen Armstrong yang berjudul “The Lost Art Of Scripture; Rescuing The Sacred Texts” disebutkan bahwa kemampuan penganut agama dalam menggali lebih jauh betapa aspek-aspek yang paling berharga dari kitab suci sudah mulai luput dari perhatian. Misalnya, kitab suci Alquran oleh golongan Fundamentalis digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan para teroris, kitab suci Torah dipergunakan golongan Fundamentalisme Yahudi untuk melenyapkan Palestina, demikian halnya kitab suci Bible dipergunakan untuk menyerang LGBT dan sebagainya, secara bersamaan golongan sekuler yang memuja-muji sains turut serta memandang keberadaan kitab suci secara sinis atau tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Beberapa contoh di atas, memberi gambaran bahwa pandangan tersebut kehilangan perspektif dalam memahami esensi sesungguhnya dari kitab suci. Peringatan Armstrong yang patut untuk dipikirkan ialah tentang hilangnya seni menggali kekayaan kitab suci sebagai ajaran keadilan sosial dan hubungan yang kudus kepada yang gaib. Dalam kitab suci Torah terdapat kisah para nabi dan mitologi yang didasarkan pada nilai yang kuat dalam membentuk masyarakat yang adil. Sidharta Gautama (Buddha), menekankan pentingnya moral dan kebaikan melalui meditasi membangun hubungan antara manusia, semesta dan Tuhan. Bible memperlihatkan betapa kehidupan Yesus mengekspresikan kasih sayang kepada semua dengan pengorbanan yang tiada tara. Alquran yang di wahyukan kepada nabi Muhammad Saw juga membawa satu ajaran untuk membangun komunitas yang lebih harmonis dan inklusif.
Membincang agama tidak selalu terkait sesuatu yang sifatnya suci, sakral, dan ghaib. Beragama tidak hanya mengarah pada persoalan-persoalan teologis (Tuhan, Malaikat, Kitab Suci, dan Moralitas). Beragama juga erat hubungannya dengan kemanusiaan, institusi keagamaan, maupun perilaku beragama. Agama diamalkan dan ditunjukkan oleh manusia, sehingga agama sangat erat kaitannya dengan sikap beragama manusia dan bagaimana agama dipraktekkan para pemeluknya, agama adalah tentang manusia dan seluruh sikap juga perilaku orang yang meyakini dan mengamalkannnya.
Ijtihad adalah jalan bagi kemajuan suatu bangsa, para ulama dan sesepuh bangsa terdahulu telah lama berijitihad terkait urusan menghubungkan agama, budaya, dan kemanusiaan, sudah saatnya kita umat beragama menyelamatkan perdebatan tiada berujung, menjaga keselarasan hubungan antar iman di negeri yang kaya akan warisan keberagamaan. Kita yang hidup di abad 21 ini, kiranya perlu mereposisi pemahaman terhadap keberagamaan yang dimiliki. Namun, hal ini membutuhkan usaha dan perjuangan yang lebih bagi setiap individu. Menjadi Muslim rasional adalah keharusan, sebagai konsekuensi logis dari pernyataan bahwa dirinya (kitab suci) sebagai petunjuk hidup (hudan li al-nas), pesannya mesti relevan bagi kehidupan seluruh umat manusia di setiap masa dan tempat.
Gagasan universal keberagamaan sebagaimana disebutkan di dalam kitab suci, menurut hemat penulis, akan dapat diterima setiap manusia yang cerdas dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan, apabila telah memenuhi tiga syarat utama: Pertama, menguasai ilmu pengetahuan dengan maksimal guna mereposisi paham keagamaan sesuai konteksnya. Kedua, menegakkan keadilan untuk persamaan kemanusiaan. Ketiga, tunduk dan mendekat kepada Allah Swt untuk menegakkan moral dan kesalehan, baik secara individual maupun sosial.
“Wallahu A’lamu bi al-Shwab”