Firaun memang telah mati beberapa abad lalu, jauh di negeri Piramida di ujung sana. Raganya sudah tak lagi bisa berdiri untuk mengatur ribuan bala tentara yang sangat ambisius dan gila kekuasaan. Lisannya tidak bisa lagi menyepelekan para Nabi utusan Allah. Dia tidak bisa lagi berkomunikasi dengan pembantunya, Haman yang super jenius dalam hal merancang Piramida pada zaman itu.
Sekarang jasadnya sudah menjadi bahan tontonan dan penelitian ilmiah oleh kalangan ilmuwan. Tetapi apakah sifat-sifat yang ia miliki benar-benar mati dan tenggelam di Laut Merah bersama badannya?
Barangkali Fir’aun secara jasad saja yang mati, tetapi wataknya belum. Sifatnya bermutasi ke dalam bentuk-bentuk baru yang lebih soft dan aplikatif yang mudah diterima masyarakat kekinian yang lahir ribuan tahun setelah ia mati. Bisa jadi virus Firaunisme tumbuh tidak lagi di daerah gersang padang pasir tetapi di daerah yang serba mewah dalam ruangan ber-AC. Bermetamorfosa dalam bentuk fragmentasi-fragmentasi yang merambat pada jabatan-jabatan bonafid di instansi atau kantoran, yang konstruksi bangunan tidak sekeras batu dinding piramida. Tidak lagi mengawasi anak buah dari puncak menara kerajaan tetapi cukup dengan menatap layar kaca depan meja kantor. Bermigrasi dari kerajaan yang besar kepada korporasi atau instansi yang berisi hanya puluhan staff saja. Semua serba mungkin apalagi dengan melihat kondisi perkembangan karakteristik umat manusia hari ini.
Mungkinkah Firaunisme masih exist?
Sebelum mengalisa lebih lanjut potensi penyebaran bibit penyakit Fir’aunisme, terlebih dahulu dikupas istilah terkait Fir’aun. Dalam perspektif Linguistik, istilah Fir’aun ini berawal dari kosakata “Pr-Aa” yang berarti rumah yang paling tinggi yang merujuk kepada tempat tinggal raja-raja pada saat itu yang berada di atas dataran tinggi (Rusli, 2019:38).
Tempat tinggal yang berada di ketinggian ini bukan tanpa tujuan. Akan tetapi digunakan sebagai tempat untuk mengawasi rakyatnya yang berada di bawah sana. Seiring dengan perkembangan waktu, kata Pr-Aa tidak lagi mengacu kepada tempat tetapi merujuk kepada orang (penghuni rumah) yakni sang raja sehingga muncul istilah Pharaoh.
Dalam rumpun Bahasa Semit termasuk juga Ibrani dan Arab “P” mengalami proses artikulasi sehingga menjadi “F” yang kemudian ketika diucapkan dalam dialek Ibrani menjadi “far’a” yang kemudian dalam bahasa Arab menjadi Firaun (Halim, 2011).
Ini dapat dipahami bahwa kata Fir’aun merujuk kepada jabatan atau orang yang mengemban jabatan / posisi dalam kerajaan. Tentunya ini menjadi iktibar bagi kita mengapa ia tidak disebutkan secara spesifik nama dari raja tersebut agar manusia mengambil pelajaran bahwa watak Fir’aun ini akan selalu muncul di zaman-zaman yang akan datang.
Mungkinkah potensi Fir’anuisme akan tetap ada atau exist pada generasi moderen layaknya sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan kritis ini setidaknya ada 3 alasan argumentatif yang memungkin potensi sifat-sifat ini terwariskan kepada manusia di era yang berbeda-berbeda.
Pertama, terlepas dari wataknya yang sangat kejam, zalim dan tidak percaya Tuhan, Fir’aun adalah juga manusia biasa yang secara badaniah mempunyai fitur-fitur biologis pada umumnya. Mempunyai tangan, kaki, mata, organ dalam tubuh, kepala yang sama saja dengan manusia kebanyakan. Karena dia bukan dari golongan malaikat dan jin sangat mungkin sekali potensi fir’aunisme akan selalu ada dalam tubuh manusia moderen.
Barangkali level atau kadarnya saja yang berbeda karena menyesuaikan perubahan zaman. Sedikit bukti ilmiah, baru-baru ini DNA dari Firaun sudah terdeteksi yakni : E1b1a (E-M2) sehingga sudah ada yang mengakui bahwa dirinya keturunan Ramses III, anak dari Firaun yang ditenggelamkan Allah di laut Merah. Dikutip dari Catatan Harian Dahlan Iskan (2011) berjudul Bani Firaun, Dexter Caffey, CEO perusahaan Apps Smart Eye Technology meyakini bahwa ia adalah keturuan Firaun.
Ini baru satu orang sudah melakukan tes DNA, masih ada ribuan bahkan jutaan lagi manusia di luar sana yang belum terverifikasi secara medis dan ilmiah genetika mereka. Selain itu, Firaun mempunyai kecerdasan layaknya manusia normal sebagaimana kemampuan manusia milenial seperti sekarang ini.
Manusia pada umumnya memiliki otak sebagai sumber pusat informasi dan kemampuan berpikir yang sudah diwariskan turun temurun. Menurut hasil penelitian, Firaun adalah manusia cerdas yang sudah menguasai ilmu kimia khususnya dalam hal merancang Piramida.
Dalam Journal of the American Ceramic Society disebutkan bahwa ia menggunakan tanah jenis slurry untuk membuat Piramida yang mengalami proses pembakaran. Ilmuwan Prancis, Davidovits dengan menggunakan mikroskop elektron mengatakan bahwa bahan dasar pembuatan bangunan berasal dari tanah lumpur kapur yang diberi garam kemudian dipanaskan. Ini mengindikasikan bahwa kecerdasan pada saat itu sama dengan manusia era digital ini, bisa jadi lebih dari kita.
Secara sains, manusia mampu berpikir dan memproses informasi karena manusia awalnya terbuat dari tanah yang mempunyai unsur-unsur senyawa kimia. Tanah mempunyai banyak unsur antara lain besi (Fe), tembaga (Cu), kobalt (Co), mangan (Mn), di samping unsur karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N), fosfor (P), dan oksigen (O).
Semua unsur metal dan metaloid ini berperan sebagai katalis dalam proses reaksi biokimiawi untuk membentuk molekul yang lebih kompleks, seperti ureum, asam amino, atau bahkan nukleotida. Molekul-molekul tersebut dikenal sebagai molekul organik, pendukung suatu proses kehidupan. Berbeda dengan malaikat dan jin yang tidak terbuat dari tanah, sehingga potensi untuk berkomunikasi, berbicara dan menggunakan kemampuan otak berbeda dengan manusia.
Benang merah yang bisa ditarik dari penjelasan ini adalah manusia moderen mempunyai potensi untuk mewarisi Firaunisme apalagi mereka yang secara genetika dan DNA mempunyai garis keturunan. Apalagi ditambah dengan bukti fitur-fitur biologis yang tidak jauh berbeda. Hipotesa bahwa sifat angkuh, sombong, tidak percaya tuhan, zalim sangat berpotensi terwarisi kepada masyarakat era sekarang.
Kedua, dalam kacamata sosial, Fir’aun hidup dalam suatu komunitas yang terdiri dari masyarakat, pemimpin, wilayah, bahasa, sumber pencaharian dan juga tempat tinggal. Konstruksi sosial ini sama dengan keberadaan masyarakat pada saat ini. Fir’aun ini adalah sebutan yang ditujukan kepada raja pada masa Mesir kuno.
Komparasi dalam terma sosiologi ini tentunya ada kesamaan walaupun secara zaman dan lokasi kejadian sangat berbeda. Setiap daerah ada “raja” kalaupun tidak persis sama tetapi secara hakikat sama yakni pemimpin suatu kelompok. Di masyarakat moderen pun ada hierarki tertentu, ada pemimpin, ada rakyat, ada daerah atau wilayah, ada juga regulasi dan juga gaya kepimimpinan.
Tidak jauh beda secara substansi dengan ratusan tahun yang lalu walaupun secara konteks tentunya berbeda. Ini juga cukup argumentatif bahwa konstruksi sosial hari ini memungkin sifat firaunisme bisa muncul ke permukaan dan berkembang tentunya sesuai dengan porsi dan level berbeda.
Ketiga, jika ada kisah dalam Qur’an yang tidak disebut secara eksplisit nama tokoh atau pelaku, tempat kejadian secara jelas dan tahun berapa, hal itu terjadi maka kisah tersebut bisa terulang pada masa yang akan datang. Tentunya dengan episode yang baru, setting cerita yang berbeda dan pelaku yang tidak sama. Akan tetapi pesan yang ingin disampaikan sama dengan kisah-kisah sebelumnya.
Menurut Mutawalli Asy-Sya’rawi, seorang ulama kontemporer Mesir, jika Quran tidak menyebut secara eksplisit nama tokoh maka peristiwa tersebut akan terulang di masa akan datang dengan latar dan konteks yang berbeda seperti kisah Fir’aun dan Zulqarnain. Dalam kisah tersebut tidak disebutkan dengan rinci siapa nama Firaun yang sezaman dengan Nabi Musa, apakah Ramses II atau Merneptah, tahun berapa mereka hidup, dimana latar kisah tersebut tidak dirinci. Sebaliknya jika disebut secara ekspilist dan jelas disebutkan seperti kisah Maryam binti Imran dan Isa bin Maryam maka peristiwa tersebut tidak akan terulang lagi di kehidupan masa akan datang.
Berkaca dari tafsiran tersebut, maka potensi Fir’aunisme di masa-masa sekarang dan akan datang probabilitas terjadinya sangat terbuka. Tentunya, sekali lagi, dengan konteks dan latar belakang peristiwa yang berbeda. Hal yang menjadi “main idea” dari setiap kisah yang terjadi adalah apa pesan yang dibawa bukan seperti apa kronologi.
Kronologi cerita bisa saja terjadi di sebuah perkantoran yang udaranya tidak sepanas iklim Mesir tetapi watak atau karakter tokoh utama kurang lebih sama dengan yang terjadi di tanah para Mumi di sana. Allah menginginkan setiap umatnya untuk mengambil ‘ibrah dari kisah-kisah terdahulu untuk dijadikan sebagai rambu-rambu, panduan bahkan sebagai alarm dalam mengarungi kehidupan. Bukan semata untuk mengingat nama tokoh si pelaku perisitiwa.
Wujud Firaunisme Moderen
Akan ada sifat Firaunisme yang muncul dalam diri manusia moderen walaupun dalam redaksi yang berbeda. Pertama, Firaunisme yang mungkin akan hadir dalam diri manusia milenial sekalipun adalah sifat “keakuan”. Pusat dari Firaunisme ini adalah menganggap diri sendiri sebagai segalnya dan orang lain tidak ada apa-apanya. Orang lain dipandang remeh, lemah, tidak mempunyai nilai sehingga satu-satunya yang diagungkan adalah diri sendiri.
Dalam terma lain, dikenal istilah “ananiah” dimana terma ini diderivasi dari bahasa Arab ana yang artinya kurang lebih sama dengan sifat keakuan. Dalam istilah yang lebih merakyat kita mengenal kata egoisme.
Menurut pandaangan Jeffrey Nevid (2005) ego adalah struktur psikis yang yang berkenaan dengan diri. Ego memiliki algoritma pertahanan yang menganggap orag lain sebagai ancaman. Ketiga definisi ini merujuk kepada maksud yang sama yakni pengkultusan berlebihan terhadap diri sendiri.
Fir’aun menuhankan dirinya dalam urusan akidah, tidak mengakui Tuhan bahkan dia yang menahbiskan dirinya sebagai tuhan. Jangankan menjalankan risalah yang disampaikan oleh Nabi, pada Tuhan-pun dia tidak percaya. Begitu merajalelanya sifat “keakuan” di dalam hatinya. Bisa jadi sifat firaunisme modern melekat tidak lagi dalam urusan akidah dan ibadah tetapi lebih kepada urusan muamalah bagaimana hidup bersosialisasi dalam masyarakat, tempat kerja dan lingkungan rumah.
Seseorang yang telah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi sangat gampang terinfeksi symptom Fir’aunisme ini. Gejala yang sangat gampang dilihat dengan kasat mata adalah tidak mau menerima kritik walaupun dia keliru atau salah.
Mekanisme pertahanan untuk mempertahankan sifat “keakuan” adalah dengan menyerang balik orang yang memberikan nasehat atau kritik. Karena dia percaya bahwasanya apa yang dikritik oleh orang lain kepada dirinya tidak ada yang benar, semua keliru, tidak berdasarkan fakta atau mengada-ada. Parameter yang dipakai bersumber dari penilaian diri sendiri, tidak peduli dengan pendapat orang lain. Tentunya watak ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh “The Real Pharaoh” belasan abad yang lewat. Hanya “kadar” saja yang membedakannya tetapi pada substansi kurang lebih sama, sombong dan menganggap rendah orang lain.
Mengapa firaun menganggap dirinya tuhan? Apakah karena dia seorang raja yang terkaya seantero Mesir pada saat itu? Ternyata jawabannya menurut sebagian ulama adalah karena dia tidak pernah sakit. Dimana ia dikaruniai Allah SWT berupa istidraj thulul ‘afiyah yang artinya bahwa dia hidup sekian lama tanpa pernah merasakan sakit.
Hal ini diungkapkan dalam Ihya Ulumudin dan Quth Al Qulub karya Imam Al Ghazali. “Sesungguhnya yang menyebabkan Firaun sampai berani mengatakan ‘Aku adalah Tuhan kalian yang Maha tinggi’ hal ini disebabkan karena ia mengalami masa sehat yang begitu panjang dalam hidupnya. Seandainya saja, Firaun merasakan sakit sedikit meski sehari saja, niscaya itu sudah cukup membuat ia merasa tidak punya apa-apa.
Secara tersirat dapat dipahami bahwa sehat ini bisa juga dianalogikan sebagai keadaan yang baik, posisi yang bagus, jabatan yang tinggi, financial yang bagus, karier yang moncer. Sudah lumrah memang, jika seseorang pernah mengalami sakit biasanya rasa empati dan simpati kepada orang lain semakin menebal, syukur kepada Allah semakin bertambah, ingat akan kematian semakin tinggi dan ketergantungan terhadap kekuatan di luar kemampuan manusia semakin meningkat.
Begitu jika pernah merasakan ekonomi anjlok maka respek terhadap orang yang kurang beruntung tinggi, jika pernah dimutasi dalam pekerjaan maka rasa penghargaan terhadap bawahan sangat tinggi. Begitu juga bagi yang pernah mendapat diturunkan posisi dalam jabatan maka secara naluriah akan berkurang syndrome power. Tetapi Firaun tidak merasakan itu semua, sehingga semakin menjadi rasa kesombongan dan kezaliman.
Naluri manusia tidak bisa bohong, kebanyakan orang ketika “sehat” baik itu keuangan, jabatan, karier, rumah tangga, relasi akan semakin menggebu rasa ananiah atau keakuannya. Uang didapat dari hasil pekerjaan dan keringat sendiri, untuk apa dikeluarkan zakat mal, mengapa mesti berinfaq, mengapa juga mesti membantu fakir miskin. Mereka tidak membantu kita dalam mendapatkan uang, ketika bekerja siang malam banting tulangpun mereka tidak pernah nampak.
Lalu mengapa kita mesti mengeluarkan sebagian uang untuk mereka. Lebih baik membangun bisnis baru yang lebih jelas lagi alokasi income beberapa tahun kedepan. Begitulah sifat “keakuan” mulai membius kita dengan narasi-narasi yang sangat masuk akal. Tidak banyak dari kita yang kemudian terjebak dengan sihir Fir’aunisme ini sehingga betul-betul diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Saat karier lagi di puncak, semua serba terjamin, fasilitas first class, punya tenaga ahli dan ajudan, secara bersamaan syndrome power biasanya mulai muncul. Pendapat yang paling benar adalah pendapat saya, karena saya atasan yang berhak memutuskan. Tanpa tanda tangan saya tidak bisa berbuat banyak, bahkan tanpa tanda tangan pimpinan semua tidak bisa dikerjakan. Jika sudah berada di posisi seperti ini godaan egoisme semakin besar dan terus menyala yang kalau tidak kuat iman akan membuat manusia khilaf. Narasi yang mirip analogi ini tentunya pernah disampaikan Nabi Musa kepada Fir’aun untuk segera kembali ke jalan yang telah ditetap tuhan. Tapi keyakinan Firaun tidak tergoyahkan karena merasa dia yang punya kuasa atas apapun. Jangan sampai tanda tangan kita yang sakti luar biasa ketika masih menjabat menjadi jalan yang mengantar kita menuju kezaliman bagi orang lain. Karena jika sudah tidak berada di posisi itu lagi, sebagus apapun tanda tangan kita tidak ada harganya bagi orang lain.
Ketika kita menjadi pimpinan kita menjadi pemimpin yang diktator dan anti kritik dengan berasaskan pendapat pimpinan selalu benar, jika salah itu kembali pasal satu. Dahulu Fir’aun tidak membolehkan adanya demokrasi dalam kekuasaannya. Artinya, satu-satunya pendapat yang mesti menjadi referensi dan yang wajib didengarkan adalah pendapat dia. Itu mutlak dan mesti dilaksanakan tanpa ada dalih atau embel-embel pengecualian.
Kedua, warisan dari Firaunisme ini adalah Feodalisme dan partialism. Dahulu Firaun tidak menginginkan adanya saingan dalam tampuk kekuasaan. Sehingga dia memerintahkan untuk membunuh anak bayi laki-laki kepada para pengawalnya. Apalagi anak bayi tersebut bukan berasal dari golongan mereka. Laki-laki merepresentasikan simbol kepemimpinan dan bayi laki-laki dapat diasosiasikan sebagai pemimpin gaya baru atau pemimpin muda yang bisa jadi sangat berbeda dengan tradisi pada saat itu yang ia pegang. Paham ini sekarang dapat secara gambalang dipahami bahwa Firaun adalah feodal sejati yang tidak menginginkan adanya generasi baru yang memimpin yang berbeda dengan visinya. Bayi yang bukan dari keturunan kaum mereka dapat diasumsikan sebagai politik partial dalam suatu kepemimpinan. Kecenderungan tegak lurus pada kelompok tertentu dan membenci kelompok yang lainnya. feodalisme dalam tatanan Firaunisme moderen adalah adanya markah senioritas yang jelas dalam suatu organisasi.
Feodalisme berkenaan dengan paham bahwa yang muda tidak tahu apa-apa, belum cukup umur, minim pengalaman dan miskin pengetahuan dalam mengelola suatu hal atau dalam memahami sebuah persoalan. Diambil dari bahasa Latin feudum yang artinya “wilayah kekuasaan” kata ini kemudian berkembang dalam masyarakat dengan diksi yang mudah dipahami seperti, kolot, haus penghormatan, pemikiran yang bonsai, kuno, kekerabatan dan pengkultusan. Duet maut antara feodalisme and partialisme dalam kepemimpinan akan menghasilkan kebijakan yang tidak menyeluruh, tidak adil dan anti kritik. Sehebat apapun sesorang akan tetap selalu tidak bagus dalam pandangan pimpinan, selalu saja ada celah untuk mencari kesalahan.
Setiap kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan satu pihak dan membuntungkan pihak lainnya, apalagi pihak yang “berseberangan” haluannya. Tradisi ini sudah dipraktekkan oleh Firaun jauh ribuan tahun lalu dan tampaknya masih juga diminati di zaman sekarang. Mau se-brilliant apapun ide anak muda dalam suatu rapat, akan selalu masuk tong sampah jika dianggap membahayakan posisi suatu kelompok tertentu. Dengan kekuasaan yang dimiliki, sangat gampang sekali untuk membonsaikan pikiran cerdas seorang bawahan. Credit point hanya diberikan kepada orang yang mempunyai pertalian organisasi, kesamaan almamater, kesekufuan daerah, kesamaan latar belakang.
Firaunisme moderen tidak tenggelam di laut Merah tapi di laut-laut lain yang secara esensi kurang lebih sama. Laut adalah tempat terendah di bumi yang berisi air. Bisa jadi sekarang “tempat terendah” itu adalah kondisi ketika seseorang berada di level terbawah dalam hidupnya. Bisa jadi kehidupan yang sudah mulai senja. Pimpinan yang tidak lagi memiliki jabatan penting yang dahulu tandatangannya bisa “berharga” puluhan bahkan ratusan Dollar, sekarang tidak berpengaruh apa-apa lagi.
Boss suatu perusahaan yang baru saja diturunkan menjadi staff biasa yang ruangannya hanya dapat kipas angin merek Cosmos saja. Kepala sekolah yang kembali lagi menjadi guru kelas yang perintahnya tidak mesti diikuti oleh guru lain. Caleg yang tidak lagi terpilih untuk periode pemilihan legislatif. Pejabat daerah yang kalah dalam pilkada yang dahulu jarang menyapa rakyat, sekarang sangat rajin melambaikan tangan. Kondisi ekonomi yang tidak stabil atau malahan bangkrut. Dulunya selalu naik Alphard dengan kaca tertutup, sekarang naik kendaran dengan kaca selalu terbuka, seperti becak. Pengusaha yang tersandung kasus korupsi, yang dahulu liburan ke luar negeri sekarang ke hotel prodeo. Begitu juga kepala desa yang tidak terpilih lagi oleh warganya. Dahulunya banyak kawan ngopi dan relasi yang disalami oleh banyak orang, sekarang masuk lepau biasa saja tidak ada yang peduli.
Sudah menjadi sunatullah, setiap masa akan selalu muncul Musa-Musa baru yang mengalahkan Firaun. Hanya perkara “waktu” saja yang akan membuktikan. Akan ada pejabat-pejabat baru yang menggantikan pejabat lama yang pikirannya tidak se-arkais pendahulunya. Akan ada raja-raja yang fresh menggantikan yang sudah old, yang siap menerima kritikan dan siap berdikusi. Akan ada boss-boss yang adil dan amanah yang mempeti-es-kan sifat Firaunisme dan tidak lagi bertindak segmental kepada golongan tertentu tapi lebih holistik dan inklusif.
Akan pasti muncul ke permukaan sultan-sultan baru yang akan mengangkat dubalang berdasarkan berdasarkan prestasi bukan relasi. Yang mengangkat para demang berdasarkan fakta dan data bukan siapa yang pintar mengolah kata. Akan lahir adipati-adipati yang tidak extreme pada suatu kaum tetapi moderat atau berdiri ditengah mengayomi semua kelompok. Sehebat apapun jabatan, posisi, pengaruh, relasi saat ini suatu saat nanti, yakinlah, juga akan merasakan berada di titik nadir, level terendah layaknya Firaun. Hanya perkara waktu saja. Baguspun posisi dan jabatan saat ini, kita akan pensiun. Gagah dan sekuat apapun kita sekarang, kita akan menua dan lemah juga nantinya. Sekuat apapun pengaruh kita saat ini, kita akan digantikan oleh yang lebih muda pada masanya nanti.