Pembaharuan dalam Islam adalah keniscayaan. Meskipun sulit membayangkan kaum modernis akan menjadi mayoritas di kalangan umat, namun pembaharuan tetaplah menjadi pendobrak kejumudan umat. Urgensi pembaharuan semakin dirasakan bila dihubungakan dengan kondisi umat Islam mulai abad ke-13 sampai abad ke-19 yang demikian mundur. Selaku manusia terbaik (khairu ummah) umat Islam berada dalam keadaan tidak berdaya ketika berhadapan dengan dunia Barat yang mamasuki pencerahaannya sejak abad ke-16.
Umat Islam ketika itu telah bertindak sebagai pelaku yang menutupi kesempurnaan dan kebaikan Islam (al-Islâmu mahjûbun bi al-Muslimîn). Sebab mereka kehilangan inovasi dan tertawan oleh kepengikutannya, taken from granted, tanpa pertanyaan (bilâ kayfa) terhadap pemikiran para pendahulunya (logo sentris). Dalam konteks kehidupan kontemporer, relevansi pembaharuan dalam Islam, terlihat jelas dalam lima hal berikut:
Pertama, Tawarannya terkait pentingnya pemahaman agama yang lebih rasional, tidak mengikuti tanpa bertanya (unquestioning and uncritical adoption) terhadap para pendahulu dalam hal pemahaman agama, sebab kepengikutan semacam itu akan bermuara pada kondisi umat yang jumud, tidak berkembang dan mandiri. Kedua, pembaharuan dalam Islam menawarkan kesadaran pluralistik secara tulus. Seperti beberapa gagasan para pemikir modern, Muhammad Abduh di India, Sayyed Ahmad Khan dan Abul Kalam Azad di India, Hasan Hanafi di Mesir, Syed Hussein Nasr di Persia, hingga Harun Nasution. Ketiga, pembaharuan dalam Islam menekankan kuat dinamika manusia, agar tidak selalu menyerah pada nasib (taqdir)-nya karena manusia memiliki peran besar dalam kehidupan dan menentukan masa depannya. Keempat, pembaharuan dalam Islam menekankan dengan kuat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelima, yang dilakukan para pembaharu dengan pemahaman rasional, dan kesadaran pluralistik, adalah upaya untuk meraih kemajuan bersama Al-Qur’ân dan Hadîs.
Berdasarkan penjelasan di atas, sebab pembaharuan merupakan keniscayaan maka solusinya adalah dengan membumikan Filsafat dalam kehidupan Muslim modern. Paling tidak terdapat tiga hal penting mengenai filsafat. Pertama, filsafat itu demikian sulit dipahami, kecuali bagi orang yang mempunyai perenungan yang sungguh-sungguh mengenai ke’arifan. Kedua, filsafat itu demikian penting bagi kehidupan. Ketiga, bagi seorang ahli (termasuk para pemerhati filsafat), dibutuhkan sikap pasrah yang tulus pada Tuhan. Banyak pemikir kita yang merekam kenyataan itu. Akbar S. Ahmed misalnya menyebutkan bahwa ’walaupun mungkin filsafat Yunani telah layu di kalangan Muslim, kenangan akan kultur Yunani tetap ada di tempat-tempat tak terduga.”
Bagaimana dengan Indonesia? Tanpa mengurangi usaha yang ada, tampaknya kajian filsafat di sini masih tergolong sangat memprihatinkan. Ahli filsafat Islam tidak ada kecuali satu, dua. Lembaga kajian filsafat masih pada tingkat pemula, fakultas jurusan filsafat yang ada di PTKI peminatnya sangat terbatas, kecuali pada berbagai Program Pascasarjana.
Dalam konteks inilah tampaknya diperlukan kajian yang intensif mengenai strategi pembangunan kembali supremasi filsafat di dunia Islam. Hal ini penting sebab tanpa pengetahuan filsafat yang memadai, pola pikir umat Islam tetap tidak dapat mengikuti dan beradaptasi dengan perkembangaan zaman dan transformasi sosial yang demikian cepat, serta tidak dapat diharapkan melakukan prediksi masa depan, baik dalam berpikir maupun dalam bertindak. Bukankah prediksi sangat dibutuhkan dalam mengantisipasi perkembangan zaman?
Sejarah telah bercerita panjang kepada kita bahwa para sarjana Muslim di abad keemasan, telah mampu mewarnai Timur dan Barat dalam berbagai bidang ilmu, adalah karena penguasaannya terhadap filsafat. Tidak ada pemikir Muslim yang turut mewarnai keilmuan dunia, yang tidak menekuni filsafat. Kita lihat misalnya Imam Al-Ghazâlî, Ibnu Sina, Al-Kindi, Ibnu Rusyd, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Agus Salim, Muhammad Hatta, Fazlur Rahman, Ismail Raji Al-Faruqi, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Qurays Shihab. Mereka itu semuanya menekuni filsafat dalam mengembangkan wawasannya mengenai bidang ilmu yang ditekuninya.
Begitulah, filsafat sebagai undang-undang berfikir secara teratur dan sistematis ternyata sangat diperlukan setiap orang, dan filsafat dalam kajiannya yang lebih sistematis memperlihatkan peranannya dalam membimbing manusia dalam kehidupannya. Jadi di samping berperan memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan vertikal, juga bisa dibumikan untuk memberi jawaban terhadap masalah-masalah kehidupan kini dan di dunia praktis. Karena tradisionalisme, konservatisme, dan bahkan radikalisme seringkali terjadi karena tidak tegaknya cara berpikir filosofis dan rasional, maka pembumian filsafat dan cara berfikir filosofis, merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari Kehidupan.
“Wallahu A’lamu bi al-Shwab“