Ilustrasi: gambar tangan kekuasaan (madina.web.id/Rohman)
Silakan Bagikan ke Teman-teman

Machiavelli adalah seorang filosof abad modern berkebangsaan Italia yang menggagas teori politik, “setiap tindakan politik dibolehkan dengan menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan”. Apabila diamati perilaku politik yang terjadi saat ini, sepertinya banyak politisi yang menjadi pengikutnya Machiavelli. Oleh karena itu, tanpa disadari seringkali politik menjauhkan pelakunya dari nilai-nilai moralitas, hilangnya Intimacy (kehangatan pribadi) dalam setiap hubungan politik, dan setiap aktivitas yang dilakukan tidak melibatkan hati yang penuh cinta. Dalam aktivitas politik terbangun pandangan bahwa pertemuan kepentingan dari berbagai kelompok akan selalu melahirkan konflik dan gesekan sebagai sebuah keniscayaan, sehingga diasumsikan jika nilai-nilai moral disertakan dalam aktivitas tersebut maka bagaimana mungkin tujuan kekuasaan tercapai, sebab moralitas meniscayakan tindakan kepada apa yang seharusnya, bukan pada tujuan yang ingin dicapai dengan cara apapun (tanpa moral).

Jauh sebelum Machiavelli, filosof besar Aristoteles mengatakan bahwa politik itu justru memiliki tujuan yang mulia untuk mewujudkan negara yang berkeadilan dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan cara yang santun dan beretika, bahkan dalam perspektif Al-Ghazali, seorang filosof muslim sekaligus seorang sufi besar, mengatakan bahwa politik dan moralitas merupakan satu kesatuan yang sinergis dalam rangka mewujudkan negara yang berkeadilan, damai dan sejahtera. Keduanya merupakan saudara kembar yang tidak mungkin dipisahkan, dari keduanya akan terlihat tindakan-tindakan yang baik dan buruk, benar maupun salah.

Agama dan politik harus mampu berperan mengarahkan kehidupan sosial menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Terdapat tiga peran agama dalam mewujudkan hal demikian; pertama, agama hendaknya menjadi kekuatan pendorong bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia; kedua, agama hendaknya memberikan kepada individu dan masyarakat suatu kekuatan pendorong untuk meningkatkan partisipasi dalam karya dan kreasi masyarakat; ketiga, agama dengan nilai-nilainya harus mampu berperan sebagai isolator yang menghambat seseorang dari segala bentuk penyimpangan.

Kekuasaan politik yang sedang diemban oleh seseorang haruslah mempunyai nilai-nilai religius untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan politik adalah anugrah yang diperoleh melauli suatu perjanjian dengan Tuhan di satu sisi dan antara penguasa dengan masyarakat di sisi lain. Karena itu, kekuasaan bukanlah keistimewaan, fasilitas atau leha-leha, melainkan tanggungjawab, pengorbanan dan kerja keras. Kepemimpinan bukanlah kesewenang-wenangan bertindak, melainkan kewenangan melayani, keteladanan berbuat, dan kepeloporan bertindak.

Seorang pemimpin semestinya harus dapat berada di antara Tuhan dan manusia, dia mendengarkan petunjuk-petunjuk Tuhan dan memperdengarkannya kepada masyarakat, dia melihat Tuhan dan memperlihatkannya kepada manusia, dan dia tunduk kepada Tuhan dan menundukkan rakyatnya kepada Tuhan. Seorang pemimpin harus memiliki hubungan vertikal kepada Tuhan. Hal ini akan membantunya menyingkap hijab yang orang lain tidak mampu melihatnya. Pemimpin yang memohonkan ampunan bagi seluruh anggota masyarakatnya akan memperoleh kemudahan-kemudahan dalam menjalankan kewajiban yang diembannya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan politik harus memilki nilai-nilai spritual. Pemegang kekuasaan harus terlebih dulu berusaha mencerahkan spritualnya sebelum ia akan mengajak masyarakat menuju pencerahan spritual.

Wallahu A’lamu bi al-Shwab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *