Ilustrasi: Sepiring pecel (madina.web.id/Rohman)
Silakan Bagikan ke Teman-teman
Ilustrasi: Sepiring pecel (madina.web.id/Rohman)

You are what you eat istilah ini mungkin sudah sering didengar oleh masyarakat khususnya dalam dunia kedokteran dan sosial. Dalam ranah kedokteran mungkin sudah sering dilakukan seminar kesehatan mengenai bagaimana mengelola pola diet masyarakat. Bagi mereka-tenaga medis atau dokter- makanan yang kita konsumsi sangat mempunyai arti yang penting bagi kesehatan. Jika ditelusuri secara ilmiah dan mendalam, ungkapan ini juga mempunyai hubungan kausal-korelasi yang melekat dengan perilaku kehidupan manusia ditengah masyarakat. Apa yang dimakan menentukan siapa, bahkan lebih jauh menu yang dikonsumsi juga menentukan kelas sosial seseorang. Para pakar menyatakan bahwa eating is strongly regulated by cultural norms and social modeling ((Rozin et al., 1999; Cruwys et al., 2015; Hetherington et al., 2006). Makan mempunyai korelasi dengan kultur dan prilaku sosial masyarakatnya. Pendapat ini direspon positif oleh pakar lain yakni Graybiel (2008) yang menyatakan bahwa kebiasan kita akan terkoneksi dengan penampilan. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa apa yang kita makan menunjukan siapa kita dimana kita berada dan bagaimana kehidupan kita.

Bagi kita rakyat biasa yang kebanyakan hari-hari kita lalui dengan menyantap bakwan, risol, tempe, bubur kacang ijo, inang-inang, lontong gulai, akan tidak begitu familiar jika disuguhkan dengan menu berupa olahan keju, kaviar, saffron, beef, atau steak. Yang semua menu itu kebanyakan disajikan dalam wadah yang agak kecil dan jumlah yang tidak sebanyak gorengan di warung kaki lima, apalagi ditambah dengan cara mengonsumsi dengan menggunakan pisau dan garpu. Tentunya, secara sederhana ini dipahami bahwa makanan ini tidak begitu cocok dengan “nasab” dan “nasib” kita pada umumnya tetapi cocok untuk mereka yang ­middle to high class financial. Ini mengindikasi bahwa ungkapan “you are what you eat” tidak hanya sebatas lip service saja akan tetapi memang benar adanya dan bisa ditelisik secara ilmiah.

Panyabungan-sebagai pusat peradaban Kabupaten Mandailing Natal-telah mengaplikasikan semangat keberagaman sejak dahulu kala. Salah satu bukti otentik yang bisa ditelusuri dan bahkan bisa dinikmati secara inderawi adalah “pocal”. Makanan tardisional yang komposisinya terdiri dari berbagai bahan yang membuat cita rasa semakin kaya dan bervariasi. Sepiring pocal tidak hanya menyajikan kelezatan “rasa” tetapi juga menyajikan keharmonisan “perasaan”. Makanan ini tidak hanya menawarkan cita rasa otentik yang alami yang membuat senang lidah dan perut akan tetapi juga menjadi sebuah aset berharga yang bisa menjaga rasa persaudaraan. Bagaimana bisa sepiring pocal menghadirkan toleransi dan keberagaman? Setidaknya ada 3 hal penting yang perlu menjadi perhatian untuk menjawab pertanyaan tersebut yakni: asal bahan makanan, cara pengolahan dan siapa penikmat makanan tersebut.

Pertama, pocal merupakan hidden message  dari toleransi dan keberagaman karena asal bahan makanan atau komposisi utama makanan tersebut tersebar di beberapa tempat yang berbeda. Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuatt sepiring pocal terdiri dari berbagai sayuran dan bumbu-bumbu. Kentang dan sawi diambil dari daerah yang suhu udaranya dingin seperti Agam, Bukittingi, Solok Selatan (Sumatera Barat) dan juga daerah Berastagi, Karo dan Samosir (Sumatera Utara). Gula yang ada pada pocal dihasilkan oleh petani aren atau kelapa yang juga berada di tempat yang berbeda dengan bahan sebelumnya. Pun dengan garam yang dihasilkan oleh daerah pesisir pantai yang jaraknya sangat jauh dengan daerah penghasil kentang atau sawi. Semua daerah ini memiliki tradisi dan keyakinan yang berbeda-beda. Ini menunjukan adanya simpul toleransi dan keberagaman sehingga walaupun berbeda kulit, ras, sosial, agama, keyakinanan dan bahasa tetapi mereka bisa menjadi harmonis dalam satu wadah yakni Indonesia. Begitu juga dengan sepiring pocal yang terdiri dari berbagai bahan yang mempunyai tugas saling melengkapi sehingga menjadi sepiring makanan yang mempunyai cita rasa tinggi. Pada intinya dalam sebuah moderasi beragama adalah keharmonisan untuk saling menerima perbedaan dan menjadikan hal tersebut sebagai sebuah kelebihan bukan sebagai kekurangan. Sehingga secara alami akan terjadi keharmonisan yang tercipta dari berbagai elemen masyarakat layaknya bahan-bahan pembuatan pocal tadi. Mereka saling melengkapi dan saling menyempurnakan bukan sehingga didapatilah rasa pocal yang manis, asin, gurih.

Selanjutnya, makanan khas Mandailing ini dibuat dengan cara mencampurkan berbagai bumbu dan aneka sayur-sayuran di dalam sebuah wadah. Takaran yang dibuat harus berimbang dan proporsional guna untuk mendapatkan cita rasa yang sesuai selera. Proses bounding ini merupakan analogi yang sangat cocok bagaimana keberagaman dibangun dalam sebuah komunitas. 

Semua elemen mempunyai porsi dan tugas mereka masing-masing sehingga terbangun takaran yang klop. Setiap individu dalam sebuah komunitas dan masyarakat mempunyai kapasitas dan peran mereka masing-masing. Sehingga dia tidak terjadi gesekan-gesekan yang bisa memicu perpecahan. Mereka juga mesti paham akan takaran yang akan mereka gunakan untuk menghasilkan sepiring pocal yang nikmat. Bagi masyarakat beretnis Jawa dan Sunda misalnya mereka akan memesan tidak terlalu pedas, dalam artian mereka bisa meminta penjual untuk lebih banyak menambahkan gula merah atau kecap tanpa meniadakan bahan-bahan yang lain. 

Jangan paksakan selera kita kepada teman satu kantor yang belum tentu sepenuhnya suka. Jika hal itu terjadi, maka bukan keikhlasan yang terjadi, tetapi pemaksaan kehendak. Kemungkinan besar akan menimbulkan konflik bathin bukan tidak mungkin juga kekerasan. Sepele memang, tetapi begitulah seharusnya dalam keberagaman. Keberagaman bukan selalu berarti seragam.

Akan tetapi bagi penulis sebagai orang Sumatera yang suka pedas, tentunya akan meminta penjual untuk menambahkan agak sedikit rawit sehingga ras pedasnya sesuai dengan selera. Ini artinya bahwa di dalam sebuah komunitas kehidupan kita baik itu sekolah, kantor, pabrik, bahkan di masyarakat kita bisa menempatkan takaran keinginan kita tanpa merusak tatatan yang sudah ada. Kita bisa membuat sesuatu menjadi manis, agak pedas, sangat pedas, ataupun asin tanpa memaksakan selera kita kepada orang lain yang belum tentu sama dengan kita. 

Pocal mengajarkan kita bahwa walaupun kita dari komunitas yang sama yakni sebagai pembeli, akan tetapi dalam hal “kadar” selera kita bisa bermacam-macam. Walaupun masyarakat Panyabungan terdiri dari multi etnis, strata sosial, keyakinan dan agama akan tetapi mereka bisa menempatkan posisi takaran mereka masing-masing tanpa memaksakan menu mereka kepada orang lain.

Terkahir, makanan tidak hanya sebatas rasa, tetapi juga ada spektrum sosial di dalamnya. Menurut Higgs dan Thomas (2020) eating behavior is strongly influence by social context. Makanan yang kita makan akan mempunyai pengaruh pada konteks sosial, imbas makanan tidak hanya pada ranah boga rasa saja tetapi pada ranah sikap, perilaku dan norma dalam kehidupan. Kalau kita perhatikan dengan serius-khususnya pengalaman penulis-penikmat pocal itu bisa berbaur dengan pembeli lainnya. Semua etnis, jenis, kelas, paras, ada di warung pocal. Ada yang beretnis Melayu, Minang, Mandailing, Batak, Sunda yang selalu meramaikan khazanah “per-pocalan” yang setia dari pagi sudah antri menunggu giliran.

Dari segi jenis dan kelas, ada perempuan, laki, anak-anak dan orang dewasa begitu juga dengan kelas sosial mereka ada yang pegawai kantoran, guru, petugas kebersihan, calon legislatif, belum bekerja dan tukang gaji pekerja pun ada di bawah atap warung pocal. 

Sejauh ini belum pernah terjadi silang pendapat atau diskriminasi yang menjurus perpecahan  selama makan pocal. Kebanyakan dari pembeli saling menyapa dan melempar senyum satu dengan lainnya.  Kalaulah kita sebagai warga negara ini memposisikan sebagai pembeli pocal yang walaupun rasa yang dipesan berlainan satu sama lain akan tetapi tetap tidak daling menyalahkan. Niscaya, kebersamaan dan moderasi beragama kita akan semakin dewasa. Rasa penghargaan kita terhadap keyakinan kawan-kawan kita memilih menu yang “pedas, agak manis atau sedikit garam” tidak akan pernah menggoyahkan keyakinan kita terhadapa menu pilihan kita. Tidak ada pemaksaan menu kepada mereka yang tidak sesuai dengan “selera” kita.

Tentunya sepiring pocal  akan tetap selalu enak dinikmati jika komposisi bahan dan takaran proporsional. Satu saja bahan tidak pas “porsi” maka akan menimbulkan rasa yang tidak harmonis lagi di lidah dan tentunya frekuensi apetit kita mulai sumbang. Apa yang diajarkan oleh sepiring pocal tentunya sangat membuka wawasan dan cara pandang kita dalam melihat keberagaman yang ada ditengah kehidupan masyarakat. Masing-masing komposisi pocal saling melengkapi dan memberi citra rasa tersendiri. Begitu juga hendaknya masyarakat yang memiliki banyak perbedaan dalam berbagai hal hendaknya selalu memposisikan diri layaknya bahan-bahan pembuatan pocal tadi, saling memberi rasa, bersatu padu,  berbaur dan yang tak kalah penting juga bisa memberi manfaat. Mungkinkah filosofi keberagaman dalam sepiring pocal ini akan selalu bisa menyatukan “warna” kita? Biarkan waktu dan willingness kita yang punya hak untuk menjawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *