Berbagai tindakan kekejaman, penghancuran, dan pembunuhan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestine terus menghiasi pemberitaan di media massa dan sekitar kita, seakan kebenaran menjadi lebih mencolok. Bukankah mereka (tentara Israel) juga punya anak dan keluarga yang menunggu, di saat yang bersamaan mereka membunuh anak dan keluarga lain, mengapa bisa tentara Israel setidakmanusiawi itu?
Manusia cenderung pada segala bentuk kebaikan bagi dirinya, tetapi manusia sering gagal melihat kebaikan. Pada umumnya manusia bekerja keras untuk memperoleh kekayaan, reputasi tinggi, dan kekuasaan. Ketika manusia sudah mencapai keinginan, ia akan mencari keinginan yang lain, manusia tidak mengenal puas.
Dengan memperturutkan hawa nafsunya, manusia cenderung berbuat jahat. Untuk mengatasinya, manusia dituntut bersikap bijak, manusia harus memahami ide tentang yang baik. Dengan begitu, orang dapat menjatuhkan pilihan yang tepat. Pengertian “baik” harus diterapkan pada hasil maksimal dari fungsi suatu objek. Misalnya, pisau dikatakan baik jika dapat memotong dengan sempurna. Pola ini dapat dianalogikan pada kehidupan manusia. Manusia dikatakan “baik” apabila ia mampu mengemban tugas untuk apa ia diciptakan. Manusia berbeda dengan hewan, karena manusia diciptakan sebagai makhluk rasional yang dianugrahi kemampuan daya berpikir. Jadi, ukuran baik bagi manusia terletak pada kemampuan menggunakan daya pikirnya secara maksimal.
Kebajikan tertinggi sangat susah untuk direalisasikan oleh manusia, sekalipun ia memiliki kemampuan dan kapasitas untuk itu. Kebajikan yang telah menjadi kebiasaan menempati posisi puncak dari hidup manusia. Terdapat empat konsep kebaikan yang dapat diterapkan untuk menjaga nilai-nilai kebajikan dalam hidup, baik sebagai individu, masyarakat maupun suatu bangsa. Keempat kebaikan itu ditentukan oleh tiga daya alami yang dimiliki manusia, yaitu; rational (rationali), emosi (the spirieted or emotional), dan hawa nafsu (appetitive). Rasional berpusat di kepala, emosi pusatnya di dada, sementara hawa nafsu pusatnya di perut.
Keempat kebaikan yang dimaksud ialah; pertama, mawas diri, yaitu menjaga harkat dirinya dari perbuatan rendah. Sikap ini timbul dari kemampuan menyeimbangkan rasio dengan unsur hewani (keinginan hawa nafsu).
Kedua, keberanian, sikap ini timbul dari unsur emosi. Sikap berani sangat penting bagi manusia, karena ia berperan sebagai pembangkit semangat dalam melakukan aktivitasnya. Namun, seperti halnya nafsu juga emosi, meskipun penting keberadaannya bagi eksistensi manusia, tetapi ia mesti di pandu oleh rasio agar tidak melampaui wewenangnya dengan merampas fungsi unsur lainnya.
Ketiga. Kebijaksanaan, (wisdom, hikmah) sikap ini timbul dari unsur rasio. Rasio harus mampu mengontrol dua unsur lainnya. Oleh karena itu, rasio bertugas mencari pengetahuan tentang yang baik. Tugas ini meliputi pemahaman terhadap manusia dan hubungannya dengan alam. Jika rasio berhasil menjalankan fungsinya, maka manusia mampu memilih keputusan-keputusan yang tepat.
Keempat, keadilan, sikap ini timbul dari kemampuan menggabungkan ketiga unsur sekaligus. Keadilan merupakan bentuk kebaikan sosial yang harus dipedomani oleh setiap individu dan anggota masyarakat.
Kesalahan dalam memadukan ketiga daya alami yang dimiliki oleh manusia tersebut di atas, akan menyebabkan manusia tersesat dan terbuang ke pinggir fitrahnya, dan pada saat itu manusia akan kehilangan kesadaran, inilah sesungguhnya yang dialami oleh bangsa Israel sehingga mereka berperilaku tidak manusiawi. Berpisahnya manusia (Israel) dari aspek fitrahnya menjadikan mereka bergerak meninggalkan kebaikan dan bahkan meninggalkan Tuhan dan dirinya sendiri. Dalam keadaan ini manusia (Israel) mulai melupakan asal-usulnya dan untuk apa ia diciptakan.
Sebagai penutup, menjadi suatu keniscayaan bagi setiap negara yang belum tersesat untuk turut serta mendeklarasikan perdamaian dan kemerdekaan bagi Palestina serta memelihara penghormatan terhadap realitas supra manusia yang merupakan sumber dari apa yang disebut dengan nilai-nilai kemanusiaan. #Free Palestine!
“Wallahu A’lamu bi al-Shwab“