Salah satu kaidah dalam beragama adalah tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain. Kaidah ini berangkat dari hadis Nabi dengan bunyi yang sama persis bahwa Nabi mengajarkan kepada kita dalam kehidupan ini dilarang membayakan diri juga membayakan orang lain.
Sering kali kaidah ini hanya dilihat dalam konteks sosial, ekonomi, dan kemasyarakan saja, padahal dalam konteks beragama pun, kita dituntut untuk tidak merugikan diri kita dan orang lain secara bersamaan. Apa ada model beragama yang membahayakan diri dan orang lain itu? Jawabannya adalah ada, yaitu model beragama yang berlebih-lebihan (ghuluw, tasyaddud, dst).
Apa yang dimaksud dengan berlebih-lebihan dalam beragama itu? Kisah ilustrasi di bawah ini mungkin bisa membantu.
Suatu ketika seorang remaja masjid menghadap kyai. Remaja itu memohon agar kyai membuat aturan agar setiap pelaksanaan shalat tarawih di masjid surahnya satu juz satu malam, kalau bisa lebih malah lebih baik. Padahal, tradisi shalat tarawih di masjid itu hanya surah-surah pendek saja. ‘Ini demi syiar Islam, yai,” imbuh remaja itu. Sang Kyai hanya tersenyum sambil bilang: “Nanti saya pikirkan, ya.”
Di hari berikutnya, remaja itu datang lagi. Sambil meminta jawaban atas permohonan sebelumnya, ia juga punya usul baru kepada kyai agar tadarus Al-Quran di masjid dibuat non-stop 24 jam. Mulai dari sahur sampai sahur lagi harus ada orang yang baca Quran di masjid. Ia juga mengusulkan agar itu semua dibuat mik luar, biar semua orang dengar. “Ini sekalian syiar Ramadahan, yai,” pungkas remaja itu. “Bukankah ibadah sunah selama Ramdhan pahalanya sama dengan pahala wajib, yai,” tambahnya agak sedikit mengajari. Lagi-lagi sang kyai hanya tersenyum dan mengulangi jawabannya: “Nanti saya pikirkan ya.”
Tak berhenti di situ, remaja itu datang lagi. Kali ini ia meminta kepada kyai agar membuat himbauan yang mewajibkan warga setempat untuk ikut iktikaf berjamaah di masjid selama 10 terakhir Ramadhan. “Mumpung ini Ramadhan, pahalanya berlipat ganda, yai.” Demikian remaja itu menguatkan permohonannya. Sang kyai tak tahan lagi, akhirnya mengatakan kepada remaja yang penuh semangat itu. Nak, usulmu itu bagus, tetapi itu memberatkan orang lain. Kalau kita buat tarawih satu juz satu malam, apalagi lebih, siapa nanti jamaah yang datang. Bukankah jemaah mesjid selama ini kebanyakan yang sudah berumur. Kalau kita buat tadarus 24 jam apalagi seluruhnya mic luar, bukankah itu justru membuat madharat kepada yang lain. Ada orang yang sakit, anak kecil, ibu yang baru melahirkan atau orang yang lagi istrihat, gara-gara tadarus semuanya menjadi terganggu. Belum lagi usulmu agar mewajibkan iktikaf 10 terakhir Ramdhan, itu sangat memberatkan kepada orang lain.
Nak, agama ini ringan, jangan diperberat. Agama itu menggembirakan, jangan membuat orang lari darinya dengan sikap dan tindakan kita yang berlebihan dalam beragama. Agama itu moderat, jangan berlebih-lebihan. Agama itu mudah, jangan dipersulit, tutup sang kyai sambil mengutip ayat: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (QS. Al Baqarah [2]: 185).
Kisah di atas hanyalah ilustrasi semata bahwa sebagian orang ada yang menyikapi agama ini secara berlebihan. Atas nama syiar, atas nama ibadah, atas nama pahala, kita kadang terperangkap kepada satu tindakan yang berlebihan dalam beragama yang justru membuat madharat kepada orang lain, bahkan kepada agama itu sendiri. Sering kali sebagian kita, karena didorong oleh semangat yang menggebu-gebu, bersikap secara kaku dan berlebihan yang justru membuat susah dan membayakan orang lain serta membuat wajah agama itu menjadi menyeramkan.
Kalau kita perhatikan dalam Al-Quran, salah satu teguran yang sangat keras dan tegas dari Allah Swt kepada ummat terdahulu disebabkan oleh sikap dan tindakan mereka yang berlebihan-lebihan dalam beragama.
Dalam Al-Quran, Allah Swt berfirman: “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar,” (QS. An-Nisa: 171)
Berlebih-lebihan dalam beragama adalah salah satu bentuk melampaui batas. Dalam bahasa Al-Quran disebut Al-ghuluw, secara harfiah maknanya adalah melampaui batas atau hal-hal yang berlebihan. Para ulama menyatakan, al-ghuluw adalah melampaui batas dari yang sudah ditetapkan. Jika agama sudah menentukan batas, kemudian batas-batas itu dilampaui, entah kerena dorongan semangat atau atas nama syiar, dst –maka itu adalah praktek ghuluw yang dicela oleh Allah Swt.
Para ulama menyebut umat terdahulu –dalam hal ini Bani Israil –dicela oleh Tuhan sebagai umat yang melampai batas dan berlebih-lebihan (al-ghuluw) disebabkan oleh dua sikap mereka. Satu, mewajibkan sesuatu yang tidak wajib. Kedua, mengharamkan sesuatu yang tidak haram. Atas dasar ini, Nabi pernah bersabda: “Jauhkan diri kalian dari berlebih-lebihan (ghuluw) dalam agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR An-Nasa’i)
Dua Faktor
Apa yang menyebabkan kita bisa masuk ke dalam praktek al-ghuluw, melampaui batas atau berlebihan-lebihan dalam beragama? Setidaknya ada dua sebab utama, tanpa menafikan sebab-sebab yang lain, yaitu pemahaman agama yang dangkal dan semangat beragama yang menggebu-gebu.
Pertama, pemahaman agama yang dangkal bisa menjadi faktor utama seseorang berlebih-lebihan dalam beragama. Sikap dan tindakan seseorang dalam beragama dipengaruhi oleh pemahamannya terhadap agama itu sendiri. Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab mendapati salah satu warganya di mesjid yang setiap hari selalu berdoa untuk diberi ini dan itu oleh Tuhan. Umar dengan nada agak marah berkata: “Langit tidak akan pernah menurunkan hujan emas ataupun perak!”
Mengapa Umar marah terhadap warga itu? Sebab, warga itu mempunyai pemahaman yang dangkal tentang apa itu doa. Doa itu bukan hanya berucap semata tanpa ada usaha dan tindakan nyata. Sikap seperti itu tentu menyalahi agama. Pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama mengakibatkan ia berlebihan-lebihan dalam beragama, yaitu sibuk berucap dan bermohon tetapi abai terhadap ikhtiyar dan kerja nyata.
Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh murid Nabi Isa AS sebagaimana diceritakan oleh Imam Ali Ahmad al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Setiap hari Nabi Isa mendapati muridnya itu selalu beribadah di tempat ibadah. mendapati hal itu, Nabi Isa bertanya: Jika setiap hari kamu di sini siapa yang membiayai dirimu dan anak-istrimu? Murid itu menjawab: Saudaraku. Nabi Isa kemudian berakata: “Saudaramu lebih baik darimu!”
Mengapa Nabi Isa menyebut demikian, sebab muridnya itu sudah berlebih-lebihan dalam beragama. Demi ibadah ritual, ia melupakan akan hak anak dan istrinya, dan saat yang sama ia mengabaikan kewajibannya kepada mereka. Ia mewajibkan terhadap dirinya sesuatu yang tak wajib, yaitu ibadah ritual sepajang hari, sementara mengabaikan kewajiban dirinya kepada orang lain, yaitu nafkah anak dan istrinya.
Nabi Muhammad Saw pun pernah mendapati kasus di mana ada sahabatnya yang selalu puasa tiap hari tanpa berbuka (wishal) untuk selamanya. Ada sabahat yang bertekad akan melakukan shalat malam sepanjang malam untuk selamanya. Ada lagi sahabat yang bertekad akan menjauhi wanita dan tak akan menikah.
Melihat hal itu Nabi pun menegur dan mencegah para sahabat untuk melakukan itu. sebab, agama tidak mengajarkan itu. Tubuh kita punyak hak. Mata, telinga, perut, semuanya punya hak yang harus dipenuhi. Anak dan istri juga penya hak. Mengapa sahabat itu berniat melakukan itu, boleh jadi itu berangkat dari pemahaman mereka bahwa agama mengajarkan itu, padahal nyatanya secara tegas dilarang oleh Nabi.
Kedua, semangat agama yang menggebu-gebu. Beragama itu memang harus bersemangat, tetapi jika sudah “over dan menggebu-gebu”, alih-alih membawa maslahat, yang muncul justru madharat. Dalam agama ada anjuran amar-ma’ruf dan nahi-mungkar. Jika amar-ma’ruf dan nahi-mungkar itu dilakukan secara menggebu-gebu jatuhnya bukan membawa efek positif terhadap agama, malah sebaliknya citra negatif yang mencuat.
Inilah kadang yang sering terjadi di lapangan. Atas nama amar-ma’ruf dan nahi-mungkar, atas nama syiar, atau bahkan atas nama agama, kita mungkin sering terjebak pada praktek yang justru merugikan orang lain dan membuat citra agama itu justru menjadi buruk.
Saya pernah melihat sendiri, atas nama pawai tarhib ramadhan, jalan besar ditutup. Akibatnya macet kenderaan panjang dan mengular. Alih-alih mendapat simpati, malah yang keluar adalah umpatan, caci-maki, dan kata-kata kotor dari penggunan jalan kepada perserta pawai tarhib ramdhan itu. Klakson mobil bunyi secara bersamaan. Dan, ada wajah marah dari pengguna jalan yang terkena macet itu.
Dalam hati saya waktu itu berkata, tidak begini beragama yang dipraktekkan oleh Nabi. Dalam agama, salah satu syarat dari amar-ma’ruf dan nahi-mungkar itu adalah selain mampu adalah tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dari sebelumnya atau tidak membuat citra Islam itu menjadi buruk. Bagaimana jika ia dilakukan dengan semangat yang berlebihan –entah atas nama ibadah, syiar, atau pahala, alih-alih meredam kemungkaran justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dari sebelumnya. Alih-alih membuat citra Islam menjadi baik, yang terjadi justru memperburuk citra Islam itu sendiri.
Bagaimana agar kita terhindar dari sikap dan tindakan yang berlebih-lebihan dalam beragama? Jawabannya adalah tentu dengan memperdalam pemahaman agama kita sedalam-dalamnya, dan yang kedua adalah mengendalikan semangat beragama itu secara proporsional. Beragama jalan tengah (tawassuth), seimbang (tawazun), dan tegak lurus (i’tidal) adalah cara beragama yang bisa menjauhkan diri kita dari merugikan diri dan orang lain.