Ketika mengajar, saya selalu mengatakan kalimat usang yang sudah turun temurun dari generasi sebelumnya. Kalimat yang saya dapat dari dosen sewaktu di bangku perkuliahan dulu, Mereka (para dosen saya) mengatakan bahwa ketika mahasiswa disuruh untuk bertanya atau menyampaikan pendapat tentang materi yang sedang dibahas dan mereka ternayata memilih diam, ini artinya ada dua “hipotesis” yang muncul yakni: mereka sangat mengerti dan yang kedua tidak mengerti sama sekali. Hipotesis ini kemudian saya kembangkan, bahwa ada kemungkinan hipotesis ketiga mereka tidak bisa mendengar sama sekali. Ketika ini saya sampaikan di kelas kebanyakan para mahasiswa tertawa. Ini mengindikasikan bahwa mereka memang mendengar instruksi dari dosen. Dan tentunya hipotesis ini ditolak. Setelah penyampaian materi selesai, saya ulangai kalimat jadul tersebut, ada pertanyaan? Kali ini mereka memilih membisu. Penulis masih menunggu beberapa saat, tetapi mereka semua sepakat “tidak ada pertanyaan”. Kelas selesai dan mereka pulang. Fakta ini memantik rasa ingin tahu penullis, apakah kurikulum kita tidak memberikan ruang untuk berpikir kritis? Apa akar penyebab memudarnya kemampuan berpikir kritis mahasiswa?
Kalau kita telisik lebih dalam UU No 20 Tahun 2003 yang menjadi payung dalam pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia, maka ditemukan kenyataan bahwa pendidikan kita secara jelas mendorong mahasiswa dan siswa untuk berpikir kritis. Mahasiswa dituntut untuk mengembangkan kemampuann diri mereka tidak hanya dalam ranah kognitif akan tetapi juga sikap dan kreativitas. Sangat lengkap sekali landasan yang telah dibuat oleh pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional kita.
Dalam perspektif yang sederhana dapat dipahami bahwa mahasiswa diberi ruang yang seluas-luasnya untuk menjadi pembelajar yang aktif dalam artian mau bertanya, berani menyampaikan gagasan atau ide bahkan mampu menyampaikan kritik ilmiah kepada dosen atau materi pelajaran. Karena untuk membentuk watak dan mencerdaskan kehidupan manusia sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang memerlukan kecakapan kognitif dan kemampuan critical thinking yang mumpuni. Bagaimana mereka bisa menciptakan kreasi-kreasi yang fenomenal-yang mampu membuat dunia terkejut-tanpa berpikir secara mendalam, tajam dan dan argumentatif.
Dengan adanya payung hukum ini para pendidik secara tidak langsung memberikan kebebasan peserta didik dalam hal ini mahasiswa. Yang artinya bahwa dosen ketika mengajar di kelas harus memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya, meminta klarifikasi ataupun menambahkan gagasan baru. Ini dapat dipahami bahwa jika ada dosen yang mengekang kebebasan ilmiah mahasiswa untuk berargumentasi-mengeluarkan daya imajinasi dan logical thinking- maka mereka akan berhadapan dengan legalitas hukum sebagaimana yang diatur dalam undang-undang pendidikan. Akan tetapi, kesempatan yang telah diberikan masih “kurang” dimanfaatkan oleh mahasiswa yang notabene-nya sebagai agent of change khususnya pada kelas dimana penulis mengajar.
Faktanya, pendidikan abad 21 yang banyak digaung-gaungkan oleh banyak pakar pendidikan menitikberatkan pada pembelajaran yang berbasis pada kemampuan aplikatif yang di dalamnya juga membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Mereka membutuhkan learning and innovative skills yang memuat 5C yakni: (1) Creativity, (2) Critical thinking, (3) Communication, (4) Collaboration, (5) Character (Chinien & Sigh, 2009; Wagner, 2008; Lucas, Spencer, &
Claxton, (2012), Sudira, (2014). Melihat milestone skill yang harus mahasiswa kuasai dalam menghadapi tantangan zaman yang serba digital dan global ini maka sudah seharusnya mahasiswa lebih proaktif dan membuat kreasi yang mampu menahan pancaroba zaman. Jika mereka belum bisa menerapkan pola 5C ini dalam kehidupan mereka sehari-hari khususnya dunia akademik, maka dikhawatirkan mereka akan “collapse” dalam menghadapi meta-layer skill yang semakin runcing dan kompleks.
Idealnya, sebuah ruang perkuliahan dipenuhi oleh kreativitas mahasiswa dalam hal penguasaan materi, tidak hanya berpangku tangan menunggu dosen menjelaskan. Kursi dan meja perkuliahan menjadi saksi bagaimana mahasiswa menampilkan presentasi dalam bentuk video dan sound, slide powerpoint yang atraktif dan komunikatif, kemampuan presentasi yang layaknya presenter kondang stasiun televisi sehingga muara dari itu semua menjadikan kelas lebih bergairah dan semangat.
Pertanyaan kritis berhamburan memenuhi ruangan bahkan sebelum dosen mengucapkan dua kosakata pamungkas ada pertanyaan? Belum selesai dosen menjelaskan satu pertanyaan, mahasiswa lain mengangkat tangan mau memberi tambahan penjelasan. Tanpa diminta mahasiswa lain kembali mengangkat tangan-hampir semua- saling mendahului untuk memberi alternatif jawaban lain.
Alhasil, dosen berperan sebagai moderator dan barangkali hanya mencatat pertanyaan-pertanyaan yang dirasa sulit untuk dijawab itu yang menjadi bagian dia. Belum selesai sampai di situ, komunikasi yang mengalir dalam kelas begitu ilmiah dan santun tidak hanya satu arah saja akan tetapi dua arah. Dosen memberikan kesempatan mahasiswa berbicara bak gayung bersambut mahasiswa mengambil lebih banyak porsi untuk menjeaskan materi.
Selain itu, mahaiswa juga belajar kapan harus berbicara dan kapan mesti mendengarkan. Juga dengan etika akademik yang tidak memotong pembicaraan selagi ada yang berbicara. Begitu juga dengan cara menyampaikan presentasi secara runut dan tersistematis sehingga poin-poin penting bisa ditangkap. Sehingga roman kelas yang seperti kuburan berubah menjadi diskusi yang tukar pikiran. Atmosfer kelas yang biasanya seperti “lemari es” berubah menjadi hangat dan bersahabat. Mahasiswa tanpa diminta, secara otomatis membantu rekan-rekan lain yang kesulitan memahami pelajaran. Pada akhirnya, kelas yang komunikatif, penuh narasi berpikir argumentatif tapi tetap mengedepankan karakter terwujud.
Sekali lagi, penjabaran di atas adalah kondisi “ideal” yang seharusnya terjadi di kampus PTKIN. Tapi itu masih butuh proses yang tidak bisa tercipta hanya dalam satu malam layaknya cerita legenda dahulu kala.
Mengapa mahasiswa lebih memilih “comfort zone” dalam perkuliahan? Mereka lebih memilih untuk tidak bertanya atau sebaliknya memberi argumentatif kritik terhadap materi pembelajaran. Sehingga komunikasi hanya satu arah yang didominasi oleh dosen, apalagi kalau dosen yang bersangkutan kebetulan memang suka “ceramah”. Maka komplit sudah paket yang didapat, bertemulah ruas dengan buku.
Dari pengalaman dan riset kecil-kecilan selama mengajar paling tidak ada dua hal yang menjadi temuan untuk kita cari solusinya secara bersama-sama. Pertama adalah masalah mental. Takut salah, ini jawaban mahasiswa ketika penulis menanyakan ihwal mengapa tidak mau bertanya atau memberi tanggapan ketika diskusi belangsung sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat kita bahwa melakukan kesalahan adalah aib, negatif, sesuatu yang buruk, dianggap kurang pintar. Sehingga mahasiswa lebih memilih untuk berdiam diri selama proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Label negatif ini tidak hanya berlangsung pada generasi milenial hari ini saja, malah lebih jauh sebelumnya sudah mengakar tradisi ini bahwa bertanya dianggap kurang pintar atau kalau meminjam bahasa Bung Roky Gerung adalah dungu. Sehingga apa yang dilakukan mahasiswa yang kita didik hari ini adalah “warisan” turun temurun dari SD, SMP, dan SMA.
Selanjutnya adalah faktor sosiokultural yang tertanam sejak dari kecil dari lingkungan dimana mereka berada. Untuk sebagian tradisi banyak bertanya dianggap tabu atau pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh anak kepada orang yang lebih tua. Sehingga secara mental dan spikologi anak sudah tertanam bahwa menjadi anak penurut yang manut-manut saja adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya sering bertanya atau bahkan banyak bertanya dianggap saru, pantangan bahkan lebih jauh lagi dianggap tabu. Sehingga tradisi ini sudah mengkristal dalam hati dan pikiran. Akibatnya, ketika anak tersebut masuk sekolah kemudian lulus ke perguruan tinggi maka kebiasaan ini akan terus terbawa. Tidak heran jika dalam kehidupan nyata di kampus ada yang tidak berani bertanya. Pilihan menjadi anak penurut dan patuh adalah sebuah pilihan yang berada di zona nyaman. Barangkali faktor ini juga menjadi penyebab beberapa mahasiswa di kelas khususnya kelas yang penulis ajari tidak mau untuk berbicara walau sekedar memberi pertanyaan sederhana.
Terkahir adalah feodalisme dalam pendidikan. Poin ini jika dicermati dengan seksama masih ada kaitan dengan pembahasan sebelumnya apalagi faktor tradisi. Penulis masih ingat betul ada satu guru sewaktu SMP yang memberikan “doktrin” tiga D datang, duduk, diam. Walaupun niat dia (guru) adalah baik, akan tetapi secara tidak langsung telah menanamkan tradisi yang kurang tepat menurut penulis. Memang masih multitafsir kosakata diam, sepanjang yang penulis pahami dulu kosakata ini merujuk pada kondisi yang mengharuskan siswa untuk focus mendengarkan guru ketika berbicara. “Buka halaman 17 baca dengan nyaring, catat dan kemudian jawab soal di halaman berikutnya, jangan ada yang berbicara”. Model pembelajaran seperti ini barangkali tidak ada lagi ditemukan pada saat era digital seperti sekarang ini. Tetapi penulis sendiri mengalami hal ini. Apakah semuanya negatif, tidak bagus untuk pendidikan? Tentu saja tidak, hal ini juga membawa dampak positif membuat siswa penurut, patuh dan tidak banyak protes. Hanya saja kemampuan critical thinking mereka terpenjara dan terkekang dalam sistem yang tidak mereka kehendaki.
Tindakan feodalisme lainnya adalah adanya super power dari pendidik yang mempunyai kekuasaan absolut mutlak dalam ilmu pengetahuan. Guru tidak pernah salah, dosen selalu benar kalimat ini terkesan klise tetapi masih ada juga ditemukan dalam kehidupan nyata di sekolah atau kampus, walaupun tidak banyak. Nadi akademik hanya diatur oleh bel atau lonceng kalau di sekolah dan pergantian jam kalau di kampus.
Dialektika kritis nyaris tidak pernah muncul selama enam belas kali pertemuan tatap muka. Bisa jadi karena dulu para guru kita memposisikan murid atau mahasiswa sebagai ”gelas kosong” yang berhak menuang air adalah guru yang dianggap bisa segalanya. Tentunya konteks ini tidak berlaku di era revolusi industry 5.0 ini. Anak SD kebanyakan sudah bisa mendapat pengetahuan gratis dari berbagai platform melalui internet contohnya youtube, podcast, instagram atau tiktok. Yang kesemua itu belum tentu dipelajari oleh gurunya. Mereka bisa menggunakan HP Android untuk melihat bagaimana cara menemukan trik trigonometri yang mudah dipelajari yang belum tentu bisa dijelaskan dengan gamblang oleh guru di sekolah. Begitu juga dengan mahasiswa, mereka terkadang lebih dulu tahu informasi terkini pendidikan dibandingkan dengan dosen mereka. Barangkali juga menemukan platform online yang lebih nyaman daripada mendengar perkuliahan di kampus.
Apa yang mau penulis sampaikan adalah paradigma konvensional yang diwariskan pendidik sebelumnya secara tidak langsung ikut ambil andil dalam absennya berpikir kritis mahasiswa. Posisi sebagai ”gelas kosong” barangkali juga menjadi salah satu penyebab mereka tidak mau berbicara di kelas. Karena merasa minder, belum punya cukup pengetahuan, takut diremehkan di dalam kelas. Atau juga mereka merasa belum pantas berbicara di depan dosen yang secara kasta akademik lebih tinggi dari mereka. Bisa jadi.
Mungkinkah “hipotesis” yang saya utarakan di awal pembahasan masih bertahan sampai hari ini? Haruskah kiblat pendidikan kita geser ke sistem liberalismenya Amerika Serikat atau Egaliteriannya Perancis supaya mahasiswa mau berpikir kritis yang tajam dan argumentatif?
Editor: Rohman